OPINI
Covid-19, Antara Rasa dan Rasio
Rasa dan rasio merupakan salah satu penyebab mengapa masyarakat terbelah menjadi dua kelompok.
Oleh: Dr Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Penggiat Forum Dosen Majelis Tribun Timur
Covid-19 belum juga melandai di Indonesia. Termasuk di Sulawesi Selatan. Bahkan semakin mengerucut meski pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk menurunkannya.
Di tengah kondisi seperti ini masyarakat juga kelihatan terbelah dua.
Ada yang serius memandang pendemi ini sebagai hal membahayakan dari asepek kesehatan dan ekonomi.
Tetapi sebagian juga santai-santai, seakan tak ada masalah.
• Relawan MRI-ACT: Pengungsi Banjir Bandang Masamba Butuh Makanan Siap Saji dan Pakaian
Oleh sebab itu di masyarakat berkembang anekdot bahwa covid 19 sesungguhnya “antara ada dan tiada”.
Rasa dan Rasio
Rasa dan rasio merupakan salah satu penyebab mengapa masyarakat terbelah menjadi dua kelompok.
Mereka yang tergolong rasional itulah yang serius melihat, mengamati dan mengantisipasi Covid-19.
Kelompok ini percaya bahwa covid 19 ada, ril dan membahayakan oleh sebab itu perilaku mereka sangat protektif dan selalu melaksanakan protokol kesehatan sebagaimana dianjurkan oleh pemerintah.
Sementara itu, mereka yang menggunakan rasa, melihat covid 19 sebagai khayalan.
Bahkan tidak sedikit diantara mereka menyebut sebagai rekayasa, konspirasi, baik untuk kepentingan politik maupun untuk kepentingan ekonomi.
Kelompok yang menggunakan rasa rentan sekali diterpa informasi hoax, disamping karena daya tarik pesannya yang seringkali sama dengan suasana kebatinan masyarakat, juga karena sifat manusia seperti ini sering mencari pembenaran atas apa yang diyakininya sebagai kebenaran.
• Cerita Korban Banjir Bandang Masamba, Lihat Mobil Dihantam Banjir: Masih Ada Orangnya
Sekali mereka percaya bahwa itu benar, tidak akan pernah lagi surut untuk menyebut itu salah.
Inilah yang disebut Tom Nichol dalam bukunya “The Death of Expertise” sebagai matinya peran para pakar.
Masyarakat yang mengandalkan rasa, tingkat kepercayaan pada nara sumber populer seringkali lebih tinggi dari ilmuan dan senagaja atau tidak, inilah yang kemudian melahirkan gerakan anti-rasionalisme.
Berpikir dan berperilaku dengan lebih banyak menggunakan rasa sejak lama dialamatkan pada diri perempuan yang halus dan perasa.
Namun predikat seperti itu nampaknya semakin menghinggapi banyak orang, termasuk kaum laki-laki, terutama dalam melihat covid 19.
Bagi pemerintah dan mereka yang percaya kepada rasionalisme, fenomena ini tentu menjadi resisten.
Sebab akan menjadi hambatan dalam menanggulangi covod-19, bahkan bisa membalikkan opini publik yang semula percaya menjadi tidak percaya.
Antisipasi
Mereka yang rasional dan percaya betual tentang covid 19, memang bisa menjadi terompet atau buzzer positif bagi pemerintah.
Orang seperti ini harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat.
Hanya saja kekurangannya ketika menggunakan rasionya secara berlebihan tanpa diimbangi dengan rasa.
• Korban Banjir Bandang di Luwu Utara Butuh Lilin dan Air Bersih
Oleh sebab itu berkembang ide dan gagasan bahwa “letakkan sedikit perasaan di akalmu agar menjadi lembut, dan letakkan sedikit akal di perasaannmu agar menjadi lurus dan terarah”.
Orang yang sangat rasional memang membahayakan juga sebab bisa melahirkan kecemasan berlebihan dan sintomnya terlihat pada menurunkan imun dan menimbulkan penyakit yang parah, bahkan dekat dengan virus corona.
Bukan hanya itu, orang yang rasional berlebihan bisa menghambat upaya pemerintah untuk menghidupkan ekonomi masyarakat.
Sebab biasanya selalu menganggap masyarakat tidak disiplin dan cenderung melanggar aturan.
Oleh sebab itu mereka menantang opsi bersahabat dengan covid 19 karena bisa-bisa menimbulkan klaster baru, misalnya di mall, bioskop, tempat rekreasi, sekolah atau di pasar-pasar tradisional lainnya.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), demikian juga komunitas perlindungan anak dan penggiat gerakan sosial, adalah sebagian dari mereka yang cenderung sangat rasional dan overprotektif terhadap kemungkinan penularan covid-19.
Oleh sebab itu sejak awal mereka melarang untuk membuka kembali sekolah, meskipun itu direstui oleh pemerintah daerah sebab sudah berada dizona hijau.
• Terkait Efek Intervensi Perwali 36, Prof Ridwan: Bisa Dirasakan 12 Hari ke Depan
Mereka khawatir kalau anak-anak yang imunnya belum kuat, belum paham tentang protokol kesehatan lalu terpapar dengan covid-19.
Uraian di atas memberi indikasi kuat bahwa rasio dan rasa jika berlebihan dalam penggunaannya akan membahayakan dan resisten dalam penanggulangan covid-19.
Itu sebabnya harus diseimbangkan agar bisa menjadi potensi, bukan jadi penghambat.
Sekali lagi “letakkan sedikit perasaan di akalmu agar menjadi lembut, dan letakkan sedikit akal di perasaannmu agar menjadi lurus dan terarah”.
Mudah-mudahan kita semua bisa menggunakan dua potensi ini dengan seimbang sehingga kita lebih bijak menghadapi covid 19.
Mari kita selalu berusaha dan berdoa agar covid 19 cepat berlalu, dan kita bisa menikmati hidup yang lebih baik lagi. Semoga. (*)