OPINI
Gatot, Bang Dullah dan RUU HIP
Di Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang jadi kampiun kapitalisme dunia, marxisme malah diajarkan sebagai mata kuliah wajib.
Oleh: M. Zainal Arifin R. Madi
(Mantan aktivis HMI)
Ketika Gatot Nurmatyo bilang PKI bangkit, saya jadi cemas. Kuatir kalau-kalau hipotesa saya selama ini komunisme sudah almarhum, bahkan sudah jadi "mumi", bakal rontok.
Masalahnya yang "cuap-cuap" kali ini seorang Panglima TNI, tidak mungkin asal. Pasti didukung sejumlah data valid.
Meski saat itu juga muncul keraguan: Kenapa ributnya nanti di ujung masa jabatan, kenapa tidak sejak awal sekaligus melakukan langkah-langkah antisipasinya selaku Panglima TNI?
Belakangan, keraguan saya terbukti ketika Gatot 'terpaksa' harus mempertanggungjawabkan argumentasi dari pernyataannya itu dalam acara talk show KompasTV, setelah dicecar dan disudutkan Rosiana Silalahi.
• Pasca Kadis Kesehatan Positif Corona, Pemkab Sinjai Kembali Berlakukan Kerja di Rumah
Alih-alih menampilkan data valid, yang dikemukakan sebagai indikasi kebangkitan PKI adalah dihentikannya pemutaran film Pemberontakan G 30 S/PKI yang sebelumnya wajib diputar di TVRI setiap 30 September, pencabutan mata pelajaran PMP dari kurikulum siswa, dan upaya mencabut Tap MPRS nomor 25/1966 tentang larangan bagi ajaran komunisme, marxisme dan leninisme.
"Siapa lagi kekuatan yang melakukan itu semua kalau bukan PKI?" dalih Gatot saat itu.
Gatot memang asal. Betapa tidak, peristiwa yang didalihkan itu terjadi di era Habibie dan Gus Dur. Penghentian pemutaran film G 30 S PKI dilakukan Menpen Letjen Yunus Yosfiah dengan alasan latar sejarahnya tidak otentik, bahkan kontroversial.
Sedang pencabutan mata pelajaran PMP bagi siswa, dilakukan Mendikbud Yuwono Sudarsono. Apa iya, kedua menteri itu atau Habibie yang jadi presidennya anggota atau simpatisan PKI?
Begitu juga Gus Dur, Ketua PBNU dan cucu Hadratus Syekh pendiri NU yang mengusulkan pencabutan Tap MPRS itu?
Bagi Gus Dur, pencabutan Tap MPRS nomor 25/1966 adalah keniscayaan karena bertentangan dengan UUD 1945 yang mewajibkan negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, tanpa kecuali.
• Belum Aman, Sejumlah Pengendara Nekat Melintas di Lokasi Longsor Poros Torut-Palopo
"Kenapa takut?," tepis Gus Dur dengan santai menjawab pertanyaan Andy F. Noya bahwa pencabutan Tap MPRS itu bisa berakibat kembalinya komunisme di tanah air.
Entah apa motif Gatot "asbun" soal kebangkitan PKI. Jangan-jangan Gatot sedang menggalang apa yang disebut Ernest Renan resentiment kalangan Islam bagi ambisinya menjadi Presiden.
Toh, Pak Harto berhasil jadi Presiden dengan "menumpang" isu PKI. Juga
bukan rahasia lagi, banyak perwira militer khususnya di masa Orde Baru, sukses melakukan mobilitas vertikal, menjadi bupati, walikota atau gubernur dengan menunggangi isu PKI.
Bagi saya, pertanyaan Gus Dur meski dengan guyon, memiliki makna yang dalam. Memangnya kenapa harus takut pada ajaran komunis?
Di Amerika dan negara-negara Eropa Barat yang jadi kampiun kapitalisme dunia, marxisme malah diajarkan sebagai mata kuliah wajib.
Bahkan menjadi program studi seperti halnya program studi Islam, Kristen dll di sejumlah universitas ternama.
Bbahkan menjadi mata pelajaran di tingkat SMA, tanpa harus kuatir akan kembali bangkitnya komunisme yang sebelumnya menjadi musuh mereka.
Yang diajarkan bukan marxisme dari perspektif ideologi, tapi marxisme sebagai ilmu atau tubuh analisa teoretis.
• Sebelum Lantik Prof Rudy, Gubernur Sulsel Minta Petunjuk Allah
Sebab tidak mungkin belajar sosiologi, ekonomi dan filsafat, tanpa membaca Marx, Weber dan Parson yang jadi "nabinya" ilmu-ilmu sosial.
Lantas, apa bedanya dengan belajar teori evolusi Darwin? Toh, teori evolusi tidak mencantumkan atau bahkan menafikan faktor Tuhan dalam proses penciptaan seluruh makhluk hidup di alam semesta.
Sama seperti membaca nihilismenya Neitzsche, absurditasnya Camus, eksistensialismenya Sartre, Jesper, Descartes, atau Sapiensnya Harari yang lagi populer.
Bukankah sejak SD kita sudah diajarkan puisi "Aku" karya Chairil Anwar yang bertutur tentang 'pemberontakan' dari takdir, sekaligus cermin dari paham absurditas yang ateis dari penulisnya?
Jadi tidak aneh jika sebagian ilmuan sosial di Harvard university berpikiran 'kiri', kosa kata yang selama ini di tanah air kerap diidentikkan dengan paham komunis dan anti Islam.
Padahal dalam Islam banyak pemikir Islam yang patut disebut "Kiri Islam". Ali Syari'ati di Iran atau Hassan Hanafi dari Al Azhar Mesir adalah dua dari banyak pemikir "Kiri Islam" yang sangat berpengaruh terhadap diskursus keislaman global.
Bagi mereka, Islam bukan sekedar agama tentang sorga-neraka atau ritual semata, agama yang hanya mengawang-awang di langit, tetapi agama yang harus merealita (membumi) sebagai sumber nilai-nilai bagi tata kehidupan sosial dan lingkungan alam bagi umat manusia.
• Nurdin Abdullah Titip Tiga Tugas Pokok Prof Rudy Sebagai Pj Wali Kota
Maka saya agak kaget membaca tulisan Bang Dullah (sapaan akrab anggota dan alumni HMI terhadap Abdullah Hehamahua) bertajuk, "RUU HIP Melahirkan Perdebatan: Pancasila Atau Negara Islam".
Saya pikir, teramat spekulatif jika fenomena segelintir mahasiswi yang melepas jilbab bersamaan atau sebagian anggota HMI tidak shalat, dapat dipandang sebagai indikasi kemunculan PKI gaya baru.
Jika logika Bang Dullah itu kita teruskan, akan diperoleh kesimpulan, semua atau paling tidak mayoritas anggota DPR sudah terpapar komunisme.
Sebab draft RUU HIP yang dituding sebagai "pintu masuk" untuk melegalkan ajaran komunis, merupakan produk DPR secara kelembagaan. Tidak mungkin lolos kalau pendukungnya minoritas.
Salah satu kelemahan bangsa ini, semua fenomena harus dibaca dari optik politik. Kita tidak punya tradisi berdialektika secara akademik-ilmiah dimana keabsahan pandangan dan gagasan didasarkan pada kekuatan argumentasi yang mendasarinya.
Tidak heran, yang mengemuka adalah spekulasi-spekulasi politik. Lalu fakta dianalisis dengan fakta, di mana ilmiahnya?
Bahkan insting juga dijadikan pisau analisis. Akibatnya, kesimpulannya jadi "liar" kemana-mana.
Ujung-ujungnya, masing-masing pihak unjuk kekuatan untuk mendukung pandangannya. Ini mau dialog atau perang?
Lantas dari mana munculnya keyakinan Bang Dullah kalau saat ini dilakukan voting di parlemen untuk memilih antara dasar negara Islam atau Pancasila, kubu Islam akan menang?
• BREAKING NEWS: Resmob Polda Sulsel Bekuk 1 Pelaku Pencuri Kabel PLN dan 4 Orang Penadah
Lha, anggota parlemennya sudah komunis semua kok. Dari tulisan itu saja sudah terlihat kalau struktur berpikirnya kacau karena ada dua logika yang saling tabrakan di dalamnya.
Sangat disayangkan jika masih ada pikiran yang mendikhotomikan Islam dan Pancasila atau malah memosisikan keduanya pada aras sejajar dalam kontestasi ideologi tanah air.
Padahal Islam sebagai agama, posisinya berada di atas ideologi manapun yang berfungsi sebagai sumber nilai dan etik sosial bagi upaya substansiasi ideologi termasuk Pancasila sebagai asas bernegara.
Akibatnya cara pandang splite demikian, muncul pandangan mengidentikkan sila Ketuhanan yang maha esa dengan kalimat la ilaha illallah, yang mengemuka dalam forum ILC barusan.
Sejak kapan sila ketuhanan bermuatan nilai-nilai tauhid yang transenden?
Padahal sila ketuhanan itu hanya satu poin dari konsensus nasional kita. Akibat tafsir yang kacau itu, lalu muncul kesulitan dalam penerapannya.
Bagaimana dengan warga bangsa yang tidak menganut salah satu agama "resmi" negara seperti para penganut kepercayaan lokal kedaerahan dari suku-suku terpencil yang ratusan jumlahnya dan tersebar di berbagai pelosok nusantara?
Atau orang-orang semacam Rocky Gerung yang disinyalir menganut paham ateis?
Apa mereka harus dipaksa menganut salah satu dari agama negara, dan bila tidak maka hak-hak kewargaannya selaku individu harus ditanggalkan?
• Covid-19, Antara Salah Paham dan Paham Salah
Bukankah jika hal itu dilakukan, justru bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan itu sendiri yang mengharuskan kita untuk menghormati hak hidup setiap orang, terlepas dari apa pun keyakinannya?
Hemat saya, jika sila ketuhanan yang maha esa harus ditafsirkan sebagai kewajiban bagi setiap warga negara untuk menganut agama yang diakui negara, maka Pancasila sudah menjelma menjadi ideologi fasis, karena berpretensi mengatur hal yang paling privat dari seorang individu: keyakinan.
Terlepas dari kontrovesi RUU HIP saat ini, munculnya pikiran yang mengkaitkan RUU HIP dengan kebangkitan PKI adalah ilusi yang tidak punya basis teoretis dan empiris sama sekali.
Ketakutan itu muncul akibat gencarnya isu 'hantu' PKI di sosial media akhir-akhir ini seiring momentum politik tanah air.
Di seluruh dunia komunisme sudah lama bangkrut.
Di Sovyet sejak 1991 bersamaan dengan glasnot dan prestroika yang di usung Gorbachev yang juga menandai runtuhnya Pakta Warsawa sebagai simbol agung kedigdayaan komunisme dunia.
Di Cina bahkan sudah lebih dahulu, meski berlangsung gradual. Rekayasa sosial budaya yang di usung Mao Ze Dong, tutup buka bersamaan dengan meninggalnya pemimpin besar revolusi negeri Tirai Bambu itu.
Negara terakhir yang disebut komunis adalah Korea Utara pasca Kuba merubah haluan ekonominya beberapa tahun silam.
Padahal di Korea Utara sendiri term-term komunis sudah sekian tahun dihapus dari konstitusinya.
• Prof Rudi: ASN Tidak Netral Langsung Dievaluasi
Secara teoretis tidak mungkin ada satu dua negara komunis yang bisa bertahan hidup jika negara-negara di sekitarnya atau seluruh dunia menganut paham kapitalis.
Adapun keruntuhan komunis terjadi secara alamiah karena mengalami pembusukan sosiologis dari dalam.
Ini terjadi karena asumsi-asumsi dasar yang membangun ideologi komunisme terbukti bertentangan dengan fitrah manusia sehingga cepat atau lambat pasti ditinggalkan oleh pendukungnya sendiri.
Kondisi transformasi global saat ini, ditandai dengan pergeseran pola-pola produksi dan distribusi barang, jasa, modal dan tenaga kerja yang tidak lagi tersentralisir pada satu pusat metropolis.
Begitu pun kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang menandai era modern saat ini, telah mengubah defenisi tentang ruang yang selama ini menjadi acuan geografis dan kultural.
Dikhotomi Barat dan Timur, kapitalis atau komunis tidak lagi dianggap sebagai sumber identitas tunggal dan utuh, secara politik atau kultural, individu atau kolektif dengan esensi dan hirarki yang permanen.
Kita saja yang belum melek, tidak sadar bahwa dunia sudah berubah 180 derajat dari asumsi-asumsi yang memframing pikiran kita.
RUU HIP memang harus dibatalkan, karena ditinjau dari aspek manapun, tidak cukup logis dan tidak ada urgensinya.
Bahkan lucu, Pancasila yang dalam jargon dikatakan sebagai sumber dari segala sumber hukum, eksistensinya diatur oleh produk hukum yang secara hirarkis dua tingkat di bawahnya.
• 3 Besar Peserta Lelang JPT Pratama untuk 7 OPD Pemprov Sulsel
Tidak sampai di situ saja, keberadaan BPIP juga harus ditinjau ulang. Saat pertama dibentuk, saya menunggu-nunggu bagaimana Yudi Latief mendefenisikan BPIP itu jenis 'binatang' apa.
Apa ingin mendaur ulang pola-pola indoktrinasi ala BP7, seperti samar-samar tercantum dalam draft RUU HIP saat ini?
Kalau memang demikian faktanya, bubarkan saja. Sebab keberadaan BPIP justru akan menggiring bangsa ini menjadi totaliter yang potensial melahirkan rezim-rezim represif baru.
Tetapi keliru pandangan yang menyatakan tidak diperlukan lagi rumusan yang lebih rinci dan implementatif dari Pancasila sebagai panduan dalam pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Alasan mereka, Pancasila yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa sudah mencukupi seperti tampak dan dipraktekkan selama 75 tahun Indonesia merdeka, sehingga tidak diperlukan tambahan pedoman untuk itu.
Jika demikian, pertanyaannya adalah, kenapa selama 75 tahun merdeka, bangsa ini harus melakukan eksperimen sosial berkali-kali. Kita melompat dari satu ruang percobaan ke ruang percobaan berikutnya, dalam ekonomi dan demokrasi.
Setelah itu kita terkaget-kaget sambil bertanya, kok seperti ini hasilnya? Saya pikir pandangan semacam itu lahir dari asumsi-asumsi yang distortif tentang nilai-nilai Pancasila.
Pancasila sejatinya berisi nilai-nilai utopis yang jadi cita-cita bersama seluruh bangsa, senantiasa harus dibumikan.
• Majdah Lantik Dokter Marhaen sebagai Dekan FIK serta 20 Pejabat Struktural Baru UIM
Upaya untuk itu bisa dilakukan dalam bentuk imperatif hukum formal seperti membuat undang-undang tentang haluan ekonomi nasional, undang-undang tentang politik dan demokrasi, juga dalam berbagai bidang kehidupan lainnya.
Memang tidak mungkin untuk merumuskan satu kerangka epistemologi secara deduksi dari nilai-nilai Pancasila yang utopis.
Tapi paling tidak, undang-undang demikian akan menjadi 'pagar-pagar pembatas' agar praktik ekonomi atau demokrasi bangsa, tidak malah melenceng dan makin menjauh dari cita-cita luhur bersama akibat ketiadaan pedoman, seperti tampak saat ini.
Sementara itu, nilai-nilai utopia tetap dibutuhkan sebagai "alat" untuk senantiasa mengkritisi realitas yang terwujud, apakah kita semakin dekat dengan apa yang dicita-citakan, atau malah semakin menjauh. Saya kira begitu. (*)