OPINI
Covid-19, Antara Ada dan Tiada
Ditulis Dr Amir Muhiddin, Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Penggiat Forum Dosen Majelis Tribun Timur
Oleh: Dr Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Penggiat Forum Dosen Majelis Tribun Timur
JUDUL tulisan ini mirip lagu yang dibawakan oleh Utopia, Album yang dirilis Aquarius Musikindo pada Tahun 2003.
Tepat setahun setelah Utopia terbentuk. Antara Ada Dan Tiada menjadi single pertama Utopia yang hingga saat ini masih diganrungi oleh banyak anak milenial.
Bukan syairnya yang penting buat saya. Tetapi judulnya karena sangat relevan dengan fenomena masyarakat saat ini yang sebagian acuh dan tidak peduli dengan covid-19.
Padahal setiap hari berbagai media mengabarkan terjadinya penambahan kasus positif covid-19 hingga mereka yang meninggal.
Hingga saat ini sebagian di antara kita bukan semakin takut, bahkan semakin tidak percaya bahwa covid-19 berbahaya.
• Tutup Paksa 5 THM di Nusantara Makassar, Polisi Bubarkan Pengunjung dan Pramuria
Ada saja yang menganggap rekayasa, urusan Tuhan, atau eja tompiseng nadoang.
Sebagian masyarakat, kalau belum terjangkit virus corona pada dirinya atau keluarga terdekatnya, belum percaya betul.
Realitas Ganda
Covid-19 ini menurut yang saya amati mengandung realitas ganda. Realitas yang pertama terlihat di pihak pemerintah.
Terutama rumah sakit yang menjadi rujukan pasien covid-19, di situ tampak sekali betapa orang sibuk, tegang, sedih, menangis, melihat pasien yang terpapar, dan keluarganya pontang panting mengurus segalanya.
Di kantor-kantor pemerintah, terutama pembuat kebijakan pun tidak kurang sibuknya, tegang, letih, lelah memikirkan bagaimana nasib masyarakat, dan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik.
Realitas kedua adalah di masyarakat. Meskipun tidak semua, tetapi kalau kita jalan-jalan keluar rumah, tampaklah pasar-pasar, di mana orang berjejal, bertransaksi tanpa mengindahkan protokol kesehatan.
Di sebagian kantor-kantor pemerintah, orang berjubel mengurus keperluan diri dan keluarganya.
• Pasien Positif Covid-19 di Soppeng Bertambah Lagi, Kini Tercatat 28 Kasus
Mengurus izin perkawinan, izin usaha, bayar pajak kendaraan bermotor dan sebagainya, di sebagian tempat-tempat rekreasi dan olah raga pun, terlihat seperti itu.
Kelihatannya tidak ada masalah. Masyarakat tidak kelihatan sedikit pun ada rasa takut, gelisah dan sedih.
Malah mereka asyik bicara, bersenda gurau tanpa jarak sosial dan protokol kesehatan.
Pada bulan-bulan pertama covid-19 melanda negeri ini, ketika angka-angka penderita masih sedikit, masyarakat justru mengalami ketakutan dan kecemasan yang luar biasa.
Terlebih-lebih ketika pemerintah melakukan tindakan pembatasan sosial berskala kecil dan besar, masyarakat luar biasa merasakan tekanan sosial dan psiklogis.
Tetapi realitas lainnya adalah berbanding terbalik, ketika bulan – bulan berikut, ketika angka penderita semakin meningkat, termasuk di Sulawesi Selatan.
Masyarakat justru santai-santai saja. Tidak cemas sebagaimana terjadi pada bulan-bulan pertama.
Padahal seharusnya, bulan-bulan inilah ketika penderita semakin meningkat masyarakat harus semakin waspada, mawas diri, dan selalu mengikuti protokol kesehatan.
Faktor Penyebab
Ada beberapa hal yang menurut saya yang menjadi penyebab. Pertama, masyarakat memperoleh banyak informasi yang isinya meragukan: apakah betul-betul covid-19 itu, virus atau bukan.
Kedua, masyarakat memeroleh informasi bahwa covid-19 ini adalah rekayasa negara-negara besar seperti China dan Amerika yang ingin memperoleh keuntungan ekonomi.
Ketiga, banyak kasus kematian di rumah sakit yang semula dianggap positif covid-19, tetapi belakangan hasilnya negatif.
• Selama Juni, Bertambah 2.259 Pasien Covid-19 di Sulsel
Padahal keluarganya sudah dimakamkan dengan prosedur covid-19.
Keempat, sebagian tokoh masyarakat dan tokoh agama yang menjadi panutan di masyarakat, sangat meyakini bahwa sakit dan sehat, hidup dan mati adalah urusan Tuhan, bukan urusan manusia apalagi pemerintah.
Aliran seperti ini sering disebut jabariah yang dalam beberapa hal kurang membantu pemerintah dalam penangan covid-19.
Keenam, pemerintah juga tidak kompak dalam persepsi dan memaknai covid-19 dan cara penanggulangannya.
Kadang-kadang pemerintah pusat mengatakan A dan pemerintah daerah mengatakan B.
Akhirnya masyarakat bingung dan menjadi penyebab lahirnya ketidak percayaan masyarakat pada pemerintah.
Tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah, terutama pada bulan-bulan pertama pandemi covid 19, menjadi faktor ketujuh yang menyebabkan masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah.
Bahkan celakanya sebagian masyarakat menganggap pemerintah, khususnya rumah sakit dan sebagian tenaga medis dianggap berbisnis dan mengambil keuntungan besar dalam kasus covid 19 ini.
Solusi
Covid-19 nampaknya sulit hilang dalam waktu yang singkat. Untuk mengambil kebijakan melaksanakan PSBB jilid III pun nampaknya sulit.
Bukan saja soal dana akan tetapi juga karena masyarakat semakin sulit diatur sebagai bagin rasa tidak percaya itu.
Satu-satunya jalan adalah pemerintah tidak bisa bosan-bosan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi sebagai bagian dari tanggung jawab negara kepada warganya.
Cara ini pun perlu terus diperbarui dan ditingkatkan kualitasnya.
• VIDEO: Peremajaan Benteng Roterdam
Sebab apa yang selama ini pemerintah lakukan dalam bentuk sosialisasi dan edukasi kelihatannya kurang berhasil.
Bahkan pemerintah kalah oleh 'buzzer' atau pendengung yang memang sengaja membuat berita hoax untuk mengacaukan negara demi kepentingan politik dan ekonomi.
Sosialisasi dan edukasi, sebaiknya jangan didominasi oleh pemerintah dan serba negara.
Tetapi beri banyak peran tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menyampaikan pesan kepada warganya dan umatnya.
Di samping itu libatkan juga cerdik pandai, mulai guru, termasuk guru mengaji, guru besar, dosen dan pihak kampus pada umumnya sehingga mereka juga merasa dilibatkan dan diperhatikan.
Bukan pada akhirnya karena kecewa, menjadi oposisi dan terompet yang menjatuhkan.
Media sosial dan media mainstream (arus utama) perlu diberi penguatan untuk berpartisipasi agar berita dan informasi yang disampaikan ke masyarakat selalu objektif dan bertanggung jawab.
Demikian juga kaum milenial, yang juga kelihatan acuh dan sebagian sibuk dengan dirinya sendiri.
Terakhir pemerintah pun secepatnya melakukan recovery ekonomi agar masyarakat kembali bergairah membangun dirinya, keluarga dan masyarakatnya.
Jangan lagi covid-19 ini dianggap biasa-biasa saja sehingga kita acuh dan lupa akan bahayanya.
Mari bersatu membantu pemerintah meyakinkan masyarakat bahwa covid-19 adalah sebuah realitas bukan sesuatu yang utopia. Apalagi "antara ada dan tiada”. (*)