OPINI
Hak Atas Kesehatan dan Hak Beragama vs Protokol Kesehatan Covid-19?
Terlalu dini jika pihak kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka terhadap warga yang menolak pemakaman jenazah keluarganya dengan protocol covid
Oleh: Haswandy Andy Mas
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar
Protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19 seharusnya menjadi alat/ sarana atau jalan bagi pemenuhan dan perlindungan hak atas kesehatan warga namun dalam implementasinya dilapangan keduanya terkesan diperhadapkan bahkan saling dipertentangkan.
Apakah norma/ prosedur yang salah atau pelaksanaannya ?
Dari sejumlah kasus yang terjadi, termasuk beberapa pengaduan yang masuk di LBH Makassar, dapat diidentifikasi persoalan muncul sejak awal kedatangan pasien di rumah sakit.
Persoalan itu di antaranya karena adanya prosedur tambahan yang dikenal dengan istilah 'Protokol Covid-19'.
Ini mengharuskan setiap pasien yang memiliki gejala yang sama dengan orang terinfeksi Covid-19 (seperti jantung, gangguan pernafasan, stroke, batuk, demam, dan sebagainya) langsung ditetapkan sebagai PDP.
• Bantuan Dinilai Tidak Tepat Sasaran, Warga Panyula Mengadu ke DPRD Bone
Dengan demikian harus menjalani uji swab PCR guna mengetahui apakah pasien negatif atau positif Covid yang hasilnya bisa berhari-hari.
Hal ini menyebabkan pasien tidak mendapatkan parawatan medis yang optimal secara cepat sesuai jenis penyakitnya sebelum ada hasil swab tersebut.
Dengan kata lain, dapat disinyalir bahwa sejumlah pasien akhirnya meninggal dunia aibat lambannya penanganan medis - yang seharusnya tidak perlu terjadi jika hasil uji swab PCR dapat lebih cepat dikeluarkan?
Problem selanjutnya terkait tindakan terhadap Jenazah yang berstatus PDP tersebut yang belum tentu negatif dan juga belum tentu positif.
Namun anehnya oleh petugas yang berwenang memperlakukannya sebagai jenazah yang sudah pasti positif.
Jenazah kemudian tidak lagi dapat disemayamkan, dimandikan, dishalatkan sesuai dengan syarat dan ajaran agama yang dianut jenazah pada masa hidupnya.
Padahal prosesi pemakaman jenazah adalah bagian dari ibadah ritual yang sakral sebagai manisfestasi dari hak dan kebebasan beragama yang dijamin dalam konstitusi (UUD 1945).
Dengan status PDP, idealnya diberlakukan sesuai dengan status yang melekat padanya yakni PDP - tidak dianggap negatif dan juga tidak dianggap positif.
• Polisi Tetapkan 12 Tersangka Kasus Ambil Paksa Jenazah di Makassar
Misalnya dengan menyediakan sebuah ruangan/ tempat penitipan khusus jenazah PDP disertai protokol tertentu, menunggu keluarnya hasil uji PCR.
Jika hasilnya negatif maka keluarga jenazah berhak untuk menjemputnya dan sebaliknya jika hasilnya positif, maka petugas yang berhak untuk memakamkan sesuai protokol Covid.
Di sinilah salah satu dari sekian banyak dalam kebijakan maupun tindakan pemerintah mengatasi wabah pandemi Covid-19 ini yang bedampak terbangunnya ketidak percayaan publik.
Pada titik inilah, warga memiliki alasan pembenaran yang kuat untuk menolak prosesi pemakaman jenazah keluarganya yang berstatus PDP diperlakukan secara protokol yang sebenarnya berlaku bagi jenazah berstatus positif.
Sehingga terlalu dini jika pihak kepolisian menetapkan mereka sebagai tersangka sementara belum ada kejelasan status hasil uji swab, berakibat perbuatan yang disangkakan kepada warga belum memenuhi syarat untuk dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum pidana materiil.
Jikapun hasil ujinya adalah positif, maka tidak adil juga dan melanggar asas proporsionalitas dan asas keseimbangan antara pemenuhan hak warga negara dengan pemenuhan kewajiban pemerintah, jika warga dijadikan sebagai tersangka.
Ini mengingat di pihak pemerintah (petugas) telah pula melakukan rangkaian kesalahan akibat perlakuannya terhadap sejumlah jenazah yang telah dimakamkan secara covid-19 meski hasil ujinya kemudian ternyata negatif, tetapi mereka sampai saat ini tidak pernah dimintakan pertanggungjawaban hukum?
Wallahu a'lam bish-shawabi.
Makassar, 11 Juni 2020,