OPINI
Rekonstruksi Makna Merdeka Belajar
Penyeragaman materi dan kurikulum yang terjadi selama, telah memarjinalkan ragam pembelajaran kontekstual
Oleh: Setiawan Aswad
Pemerhati Pendidikan - ASN Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan
Hampir setahun sudah, kebijakan merdeka belajar Mas Nadiem, Menteri Pendidikan Republik Indonesia dijalankan.
Pada tingkatan pendidikan dasar dan menengah, merdeka belajar dioperasionalisasikan pada 4 kebijakan subtantif.
Pertama, pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional oleh sekolah. Kedua, penggantian format Ujian Nasional menjadi Assessmen Kompetensi Minimum (AKM).
Ketiga, simplifikasi Rencana Pelaksanaan Pengajaran (RPP). Keempat reformulasi kuota jalur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Berbasis Zonasi.
Apresiasi terhadap kebijakan tersebut patut diberikan karena akan mengubah praktek penyelenggaraan pendidikan.
• Kasus Positif Corona Takalar Naik Drastis Setelah Lebaran
• Berkantor Kembali, Bupati Gowa Wajibkan Jajarannya Pakai Masker
Akan tetapi, dunia pendidikan perlu diingatkan bahwa sejatinya spektrum merdeka belajar tidak sesederhana itu.
Esesensinya justru belum tereksplorasi secara mendalam pada kebijakan yang diambil selama ini.
Merdeka belajar
Merdeka belajar atau lebih luas lagi memerdekakan pendidikan bukanlah pendekatan baru dalam khasana literatur dan pengalaman empiris pendidikan.
Pedagogi sebagai seni pengajaran dan pembelajaran (the art of teaching and learning) menjadi sarinya.
Sebuah seni yang diidealkan mampu menghadirkan proses petualangan belajar yang mengasyikkan karena melibat olah rasio, olah rasa, olah hati dan olah raga yang bermakna bagi baik guru maupun terutama peserta didik.
Paulo Freire dalam bukunya the Pedagogy of the Oppressed (1968) memberi penjelasan filosofis, paradigmatic, konseptual dan bukti-bukti empiris bagaimana memerdekakan pendidikan.
Dalam tataran operasional hal ini diindikasikan oleh beberapa dimensi humanis-teknis pembelajaran.
• Bupati Wajo Mutasi Pejabat Eselon III dan Eselon IV, Ini Nama-namanya
• Pak Dokter Temui Pemuka Agama, Andi Utta Dekati Dua Calon Pendamping di Pilkada Bulukumba
Kemerdekaan siswa dan guru serta relasi mereka yang memasilitasi terjadinya interaksi dua arah yang setara dan bersifat deliberatif, merupakan dimensi-dimensi fundamental.
Membebaskan sekolah dari kerangkeng eksklusitivas yang membatasi konektivitas dan relevansinya dengan realitas lingkungan masyarakat juga menjadi ciri kemerdekaan pedagogi.
Jika diperhadapkan Standar Nasional Pendidikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, merdeka belajar akan banyak bersentuhan dengan standar isi, standar proses dan standar penilaian proses pembelajaran.
Pertanyaannya sejauhmana standar ini memanifestasikan nilai-nilai merdeka belajar secara subtansial, bukan sekedar pemenuhan formalitas dan aspek teknis berupa format ujian nasional, penyederhanaan RPP dan reformulasi kuota PPDB.
Kemerdekaan yang lebih subtansial
Rezim kurikulum yang diadopsi - kurikulum 1975, kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) tahun 1984, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006 hingga terakhir Kurikulum 2013) - berimplikasi pada derajat keleluasaan sekolah, guru dan siswa dalam menyusun materi pembelajaran sesuai dengan minat dan potensi serta membangun konektivitas dengan realitas lokal.
Penyeragaman materi dan kurikulum yang terjadi selama, telah memarjinalkan ragam pembelajaran kontekstual dan karenanya membatasi ruang kemerdekaan pembelajaran di sekolah.
Kemerdekaan kurikulum dapat dilihat dari kebebasan sekolah menentukan mata pelajaran yang diajarkan atau tidak adanya batasan kelompok mata pelajaran yang ajarkan secara terpisah.
• KABAR GEMBIRA Gubernur Sulsel Nurdin Abdullah Sampaikan 18 Daerah di Sulsel Clear Corona / Covid-19
• IDI Makassar Protes Pemprov Sulsel, Klaim 12 Daerah Aman dari Covid-19
Contohnya, sekolah memberi kebebasan kepada guru dan siswa untuk belajar apa saja dan dikaitkan dengan tema/permasalahan kontekstual tertentu sebagai stimulus untuk mempelajari keilmuan yang terkait.
Di Sekolah Sanggar Alam (SALAM) Yogyakarta, hal ini jelas terlihat melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman (experensial based learning) yang memerdekakan siswanya melakukan riset dalam petualangan kognitif, afektif dan psikomotorik guna internalisasi serta akuisisi kompetensi tanpa harus terikat pada pakem pembelajaran berbasis mata pelajaran (Toto, 2018).
RPP yang merupakan instrumentalisasi standar proses dan basis lakon pembelajaran seharusnya bukan sekedar simplifikasi dokumen.
Tetapi secara subtansial tentang preskripsi pengejawantahan idealisme proses pembelajaran yang membebaskan: interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi untuk berpartisipasi aktif.
Juga memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
RPP ini juga memberikan arahan bagi proses pembelajaran yang kontekstual, menghubungkan siswa dengan ekosistem sekolah: keluarga dan masyarakat.
Model kelembagaan pendidikan alternatif yang menunjang merdeka belajar juga menjadi tantangan tersendiri jika diperhadapkan pada jebakan norma akreditasi yang mengatur kelembagaan sekolah.
• VIDEO: Denda Pajak Dibebaskan, Kendaraan Antre di Samsat Sulsel
• Ngovi Seri II Hadirkan Dokter Bagian Bedah FK Unhas Bahas Manfaat Telemedisin
Misalnya, urgensi memperkuat model kelembagaan SMK yang memungkinkan sekolah sebagai sebagai Badan Layanan Umum yang memproduksi barang/jasa dengan mencontoh struktur dan budaya kerja Dunia Usaha dan Dunia Industri/DUDI (mimicry model).
Dengan model ini maka sekolah mendapat ruang kebebasan yang cukup untuk bermanuver, mengelaborasi kurikulum, metode pembelajaran dan bermitra dengan DUDI.
Model ini juga akan membentuk sekolah berbasis produksi (product based school) – ketimbang berbasis keterampilan semata (skill based school) - dan karenanya akan lebih relevan dengan kebutuhan DUDI.
Tak kalah esensialnya, ekspresi merdeka belajar dipengaruhi oleh dukungan finansial. Kebijakan nasional tentang pembiayaan wajib sebasar 20% bagi urusan pendidikan telah diterapkan.
Sudahkah komitmen tersebut dijalankan oleh pemerintah daerah?
Sudahkah pembiayaan tersebut terbebaskan dari jebakan inefisiensi, inefektivitas, divergensi dan disharmoni pengeluaran baik ditingkat pusat ataupun daerah sehingga alokasi pembiayaan pendidikan tidak bersifat menggarami air laut?
Sudah bebaskah sekolah dari keterbatasan pembiayaan operasional pendidikan yang ideal?
Sudahkah sekolah bebas dari resistensi regulasi yang menghalangi kemampuan sekolah untuk mengeksplorasi dan memobilisasi dukungan finansial dari ekosistem yang melingkupinya?
Beberapa pertanyaan mendasar ini perlu diuji secara empiris untuk melihat derajat kapasitas finansial dalam menyelenggarakan pendidikan yang memerdekakan. (*)
Artikel ini telah terbit di halaman Tribun Opini koran Tribun Timur edisi cetak Sabtu, 30 Mei 2020.