OPINI
Mencermati Regulasi Dadakan di Masa Pandemi
Dengan menghapus V-Legal, akan memberi dampak buruk tata kelola kehutanan berkelanjutan dan perdagangan produk kehutanan.
Oleh: Mustam Arif
Focal Point Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK)
Di tengah pandemi, pemerintah dicurigai memanfaatkan kesempatan meloloskan peraturan (regulasi) yang kontroversial.
Regulasi-regulasi yang menuai protes itu umumnya mengatur pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Regulasi yang memberi ‘’karpet merah’’ kepada korporasi/investasi dan berpotensi mengancam kerusakan lingkungan dan keberlanjutan sumber penghidupan masyarakat.
Contoh, Omnibus Law dan Rancangan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), kini masih diributkan karena DPR dan pemerintah diduga cepat-cepat meloloskan regulasi strategis ini.
Masih ada regulasi lain yang mendadak, dianggap menemukan momentum di tengah-tengah pandemi.
Tulisan ini khusus membahas dicabutnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 15 Tahun 2020, sebagai pembelajaran.
• Ternyata Sudah 40 Kali Ibadah Haji Dibatalkan
Peraturan yang harus dicabut sebelum berlaku ini mengatur ekspor produk industri kehutanan, dengan menghapus ketentuan legalitas kayu (V-Legal).
Peraturan yang ditandatangani Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, 18 Februari 2020 ini sesuai ketentuan, berlaku resmi 27 Mei 2020.
Tetapi, 'hujan' protes dan penolakan berbagai pihak, akhirnya dicabut 11 Mei 2020 juga melalui Permendag No.40 Tahun 2020.
Regulasi ini dibuat dengan alasan memberi kepastian berusaha dan mendukung efektivitas ekspor produk industri kehutanan.
Aturan dengan dalih memenuhi tuntutan Industri Kecil dan Menengah (IKM) produk mebel dan kerajinan dari beban biaya V-Legal. Termasuk salah satu stimulan bagi badan usaha di tengah dampak Covid-19.
Tetapi, ketika aturan ini terbit dan dicermati, justru menghapus ketentuan V-Legal bukan hanya untuk IKM, tetapi keseluruhan produk kayu olahan.
Termasuk industri pengolahan kayu skala besar juga diberi ‘’bonus’’ dengan tidak lagi mematuhi apakah bahan baku dari kayu legal atau ilegal.
Ini juga dicurigai akan menjadi celah buat broker eksportir dengan memanfaatkan/mengatasnamakan IKM.
Dengan menghapus V-Legal, akan memberi dampak buruk tata kelola kehutanan berkelanjutan dan perdagangan produk kehutanan.
• 18 Tenaga Medis di RS Pelamonia Makassar Positif Corona, Bagaimana Pelayanan?
Implikasi lanjutan, akan memicu meningkatnya pembalakan liar (illegal logging) dan maraknya kayu ilegal.
Selain itu bisa melemahkan daya saing produk industri kehutanan Indonesia, bahkan kehilangan pasar internasional.
Peraturan ini juga dianggap melemahkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), bahkan diduga selanjutnya akan berupaya menghapus SVLK.
V-Legal yang diterbitkan lembaga verifikasi legalitas kayu adalah bukti/jaminan bahwa kayu atau bahan baku produk kayu yang diekspor, telah melewati proses SVLK.
Telah lulus proses uji legalitas mulai dari sumber (asal) kayu sampai ke industri hilir.
SVLK adalah sistem legalitas kayu yang susah payah dibangun Indonesia sejak 2003. Upaya ini membawa Indonesia keluar dari stigma buruk negara perusak hutan dan 'surganya' perdagangan kayu ilegal.
Indonesia dengan SVLK, bersama sejumlah negara dan Uni Eropa menandatangani kesepakatan kemitraan suka rela atau Voluntary Partnership Agreement (VPA) untuk melaksanakan skema penegakan hukum tata kelola kehutanan dan perdagangan atau Forest Law Envorcement Governance and Trade (FLEGT).
Dengan SVLK, Indonesia menjadi satu-satunya negara memperoleh Lisensi FLEGT, 15 November 2016.
• Surabaya Kini Zona Hitam Covid-19, Ada Apa? Corona di Sulsel Masih 4 Terbanyak
Dengan Lisensi ini, ekspor kayu olahan dari Indonesia ke 28 negara di Eropa tidak lagi melalui uji tuntas (due diligence). Indonesia bahkan menjadi contoh tata kelola hutan dan perdagangan kayu.
Menjadi tempat belajar berbagai negara.
Dengan Lisensi FLEGT, ekspor forniture dari IKM Indonesia ke Uni Eropa dan enam negara tujuan utama, meningkat setiap tahun. Akhir 2016, nilai ekspor tercatat 679 juta dolar menjadi 815 juta dolar pada akhir 2019.
Lebih dari 80 persen negara penerima meminta syarat legalitas kayu. (FLEGT Independent Market Monitor/JPIK).
Karena itu, munculnya Permendag No. 15 Tahun 2020 mengagetkan banyak pihak. Peraturan ini juga diduga tanpa konsultasi parapihak.
Tidak satu pun regulasi terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dirujuk.
Karenanya peraturan dadakan ini mengesankan tidak sinergi antarkementerian dalam pembuatan regulasi multi-sektor.
Pembelajaran
Kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi pemerintah, agar tidak memaksakan regulasi yang ternyata merugikan masyarakat dan negara.
Regulasi yang menguntungkan investasi, tetapi mengorbankan masyarakat dan lingkungan hidup.
• Update Corona Sulsel 2 Juni 2020, KABAR BURUK Penambahan Kasus Dekati Jakarta, Ketiga Terbanyak
Dicabutnya Permendag ini, Kementerian Perdagangan terhindar dari sisi negatif kebijakan jangka pendek yang tergesa-gesa, dengan dalih stimulan bagi dunia usaha.
Kebijakan yang justru akan merugikan dunia usaha sendiri.
Mestinya pemerintah berhati-hati dengan kebijakan mendadak yang bisa menjadi jebakan korupsi di sektor SDA.
Asumsinya, dengan melemahkan atau meniadakan SVLK, akan ada ‘wilayah gelap’ tempat aman untuk improvisasi tindakan korupsi.
Sebab, SVLK yang dibangun multipihak ini dianggap berada di ‘area terang’ yang sulit dikompromi. (*)
Artikel di atas telah terbit di halaman Tribun Opini koran Tribun Timur edisi cetak, Selasa 3 Juni 2020.