OPINI
Berdamai dengan (Akuntabilitas Anggaran) Covid, Bisa?
Baik BPK, BPKP, Inspektorat, SPI jangan mau diajak berdamai dengan Covid pada urusan akuntabilitas penggunaan anggaran.
Oleh: Syarif Syahrir Malle
(Pegawai BLU UIN Alauddin Makassar)
Presiden Jokowi, melalui Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden, pada Kamis (7/5/2020) lalu menyatakan, “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid 19 untuk beberapa waktu ke depan”.
Poin pentingnya yakni bahwa selain berdamai, juga harus hidup berdampingan, menyesuaikan diri, jangan menyerah, dan mengedepankan serta mewajibkan protokol kesehatan yang ketat, dan ditutup dengan mengetengahkan istilah “tatanan kehidupan normal yang baru” (new normal life).
Apa yang dimaksudkan oleh Presiden, saya pikir sudah sangat jelas dan kita pun telah menjalankan protokol kesehatan tersebut berhari-hari selama lebih kurang 2 bulan terakhir, baik dalam format work from home, work from office, maupun work of the road bagi abang/daeng ojol.
Diskusi selanjutnya yakni bagaimana implementasi ‘hidup berdamai’ dalam konteks akuntabilitas penggunaan anggaran bagi aparatur pengawasan keuangan?
• Remote Control Covid-19 Kini di Tangan Masyarakat, Ini Risikonya
Sekadar mengingatkan pada akhir Maret lalu, Presiden telah mengumumkan instrumen hukum dalam bentuk Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai senjata ‘perang’ melawan Covid-19 yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Dalam perkembangannya telah disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, tercantum dalam Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor 134 (12/5/2020) dikutip dari kompas.com.
Produk hukum inilah yang paling banyak menuai sorotan publik karena dianggap premature ketika dijalankan.
Kita wajib mengamini bahwa Perppu ini penting dikeluarkan sebagai dasar bagi pemerintah, otoritas keuangan, dan otoritas perbankan untuk melakukan tindakan luar biasa (extra ordinary measures) dalam menjamin stabilitas keuangan, menyelematkan perekonomian nasional, dan menjamin kesehatan masyarakat.
Namun di sisi lain, kita juga patut khawatir pada isi materi produk hukum tersebut, khususnya mengenai sistem pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan negara.
Adagium hukum keuangan menyatakan bahwa nafas dari APBN adalah pengawasan dan pertanggungjawaban.
Menilik isi Perppu, tidak ada satupun frasa atau klausul yang menyorot pada sisi pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi lahirnya sebuah kebijakan.
Di sinilah poin utama kritik publik atas lahirnya produk hukum tersebut.
Peran BPK
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pengawas eksternal pemerintah dituntut menyesuikan diri. Pilihannya bisa jadi hanya dua. Apakah ‘berperang’ atau ‘berdamai’.
Hemat penulis, BPK semestinya tetap jadi garda terdepan yang menyatakan perang alias jangan mau berdamai pada urusan akuntabilitas keuangan negara.
Ini karena potensi penyalahgunaan pada masa pandemi sangatlah terbuka.
Pertama, berperang di sini dimaksudkan agar BPK tetap mengedepankan independensi, objektivitas, tanpa takut dengan tekanan siapa pun dalam mengawasi setiap lika liku perjalanan realisasi anggaran, sejak perencanaan, refocusing, hingga pencairannya ke masyarakat menjadi produk bantuan.
Berperang, selanjutnya bisa dimaknai agar BPK selalu menjunjung standar audit dan kode etik pada pelaksanaan pemeriksaan dokumen pelaksanaan anggaran.
Untuk hal ini, kita masih perlu menanti hasil, ketika BPK sudah ‘masuk’ ke pusat atau ke daerah guna melakukan pemeriksaan realisasi keuangan negara tahun anggaran 2020.
Lalu kemana APIP, ikut perang atau damai?
APIP adalah singkatan dari Aparatur Pengawasan Internal Pemerintah.
Terdiri atas BPKP dan Inspektorat dari mulai level Pusat, Kementerian/Lembaga hingga daerah, termasuk Satuan Pengawasan Internal (SPI) yang dibentuk di masing-masing satuan kerja.
APIP juga disebut auditor internal pemerintah. Gamar dan Djamhuri (2015, 110) memberikan metafora peran auditor internal pemerintah daerah dalam medical term.
Auditor internal diibaratkan ‘dokter’, fraud ibarat penyakit, dan auditee ibarat pasien.
Apabila ada hal-hal yang menyimpang atau tidak sesuai dengan ketentuan, maka auditor internal harus mendiagnosa mendiagnosa dulu penyakit pasien, memverifikasi penyebab dan gejala, setelah itu memberikan resep obat yang sesuai dengan jenis penyakit si pasien.
Peran dokter tidak berhenti sampai di situ. Dokter harus memantau perkembangan kesehatan si pasien.
Seharusnya, demikian pula yang dilakukan oleh auditor internal.
Realita di lapangan, auditor internal menghadapi dilema etis, khususnya pengawasan terkait pengadaan barang dan jasa kebutuhan percepatan penanggulangan Covid.
Seorang teman penulis yang berprofesi sebagai auditor internal salah satu perguruan tinggi negeri di Makassar mengemukakan rentannya ada benturan kepentingan dengan penyedia/kontraktor.
• BREAKING NEWS: Polres Tana Toraja Ringkus Pelaku Pencabulan Anak di Bawah Umur
Katanya, surat edaran LKPP menyebutkan bisa memilih dua skema pengadaan, baik melalui penunjukan langsung pihak ketiga atau skema swakelola.
Dilemanya, di satu sisi kita sudah merekomendasikan swakelola karena pertimbangan SDM mampu melakukan (memiliki laboratorium untuk peracikan hand sanitizer).
Tapi di sisi lain pimpinan juga mau cepat sehingga condong pakai cara pihak ketiga.
"Nah ini kan kurang tepat juga, ada potensi inefisiensi anggaran," katanya.
Secara teori, memang demikianlah prinsip kerja auditor internal sebagai ‘dokter spesialis fraud’.
Ia dituntut berperan nyata memberikan jasa assurance dan consulting kepada pimpinan satuan kerjanya atas praktik akuntabilitas pengelolaan keuangan yang meliputi permasalahan governance (tata kelola), risk management (manajemen risiko) dan control (pengendalian).
Kesimpulannya baik BPK, BPKP, Inspektorat, SPI jangan mau diajak berdamai dengan Covid pada urusan akuntabilitas penggunaan anggaran. Ayo perangi Covid! (*)