Khazanah Sejarah
Pemikiran Syekh Yusuf al-Qaradawi
Ditulis Ahmad M Sewang, Guru Besar UIN Alauddin Makassar - Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Masjid Mubalig Indonesia Muttahidad (IMMIM)
Catatan dari Diskusi Online di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar (1)
Oleh: Ahmad M Sewang
Guru Besar UIN Alauddin Makassar - Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Masjid Mubalig Indonesia Muttahidad (IMMIM)
Pada 19 Mei 2020, penulis diundang oleh Dr. H. Barsihannoor sebagai host untuk menjadi narasumber diskusi online tentang, "Persatuan dan Saling Memahami Perbedaan."
Judul ini berasal dari sebuah penelitian penulis tentang pemikiran Syekh Yusuf al-Qaradawi, Direktur Uni Persatuan Ulama Sedunia.
Hasil penelitian itu sedang dalam proses percetakan dalam bentuk buku. Semoga bisa terbit dalam bulan Ramadan ini.
Saya sangat bergembira hadir pada diskusi ini karena bisa silaturrahmi dengan teman-teman alumni Fakultas Adab dan Humaniora.
Sekaligus memperluas wawasan tentang objek kajian yang dimasalahkan.
• Pembangkangan Sosial Covid-19
Sebab belum tentu apa yang saya pahami tentang pemikiran al-Qaradawi itu yang benar.
Boleh jadi kebenaran itu, datang dari peserta. Ternyata pesertanya cukup banyak.
Juga dari luar Makassar, seperti Bulukumba, Banjarmasin, dan Kalimantan Timur.
Diskusi yang dipandu Dr. Zainal Abidin, para peserta bersepakat bahwa perbedaan dalam pemikiran terutama yang menyangkut masalah furu dan itihadiah sebuah keniscayaan.
Bahkan menurut al-Qaradawi, perbedaan adalah sunnatullah dan nature.
Al-Qaradawi menambahkan barang siapa yang menginginkan agar semua manusia keluar hanya dengan satu pendapat saja dalam masalah tersebut di atas, beliau berkata, لم يكن وقوعه (mustahil terjadi dalam realitas).
Itu sebabnya, seorang muslim tidak bisa memaksakan hasil ijtihadnya kepada yang lain.
• Kerawanan Sosial Sebagai Dampak Covid-19
Karena itu pula seorang muslim tidak bisa menganggap dirinyalah paling benar.
