Mawaddah

Dalam Alquran, ada gelar al-barra, orang baik yakni orang ikhlas memberi kepada orang lain yang ia masih sangat cintai, bukan sisa atau karena tidak dibutuhkan lalu disedekahkan.

Bersedekah terbaik itu pada kerabat terdekat. Kadang ada yang bersedekah membantu orang jauh, sementara keluarganya tidak pernah dia bantu.

Jadi suami yang baik adalah yang mengetahui kebutuhan istrinya sebelum minta. Itulah refleksi dari mawaddahnya.

Menurut Prof M Quraish Shihab, mawaddah adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk.

Mawaddah adalah cinta plus yang sejati. Cinta plus bukan sekadar cinta tapi mampu menyempurnakan pasangannya.

Ia tidak dapat menemukan kekurangan dan tidak akan memutuskan hubunganya, bercerai.

Hal itu terjadi karena hatinya begitu lapang, kosong dari keburukan.

• Mantan Kapten PSM Kenang Awali Karier dari Anak Gawang, Hamka Hamzah Pernah Dimarahi Bapaknya Asnawi

Ibrahim al-Biqai menafsir mawaddah sebagai cinta yang tampak dampaknya pada perlakuan, kepatuhan akibat rasa kagun dan hormat pada pasangan.

Mawaddah tidak hadir begitu saja, tidak langsung dirasakan pada pengantin baru.

Mereka pasangan baru lebih awal memasuki fase sakinah.

Merasakan ketenangan karena mereka saling melengkapi. Menemukan pasangan hidup hingga terpenuhi kebutuhan biologis dan psikologis.

Tidak semua keluarga sampai di fase mawadah. Buktinya banyak terjadi perceraian.

Mawaddah diraih atas usaha pasangan suami istri memaksimalkan potensi cintanya untuk meraihnya.

Menerima kekurangan masing-masing secara lapang hingga mengosongkan segala kekurangan yang muncul di kemudian hari semisal pasangan makin tua. (*)