Catatan Armin Mustamin Toputiri
Selamat Jalan Profesor Arief Budiman
Pertengahan 1988. Saat itu saya memimpin rombongan mahasiswa seangkatan melaksanakan Studi Banding Jawa-Bali.
Dia menghentak dengan ‘teori struktural’ sebagai terobosan alternatif paradigma modernisasi.
Kata Arief Budiman, pemikiran yang menyatakan bahwa kemiskinan suatu negara disebabkan faktor internal, sama sekali keliru.
Menurut dia, justru diakibatkan oleh bekerjanya kekuatan kapitalis golobal di luar negara yang menjadi sumber persoalan sehingga negara gagal menjalankan pembangunannya.
Meski lontaran pandangannya berbeda dan dianggap kritis, tapi karena argumennya kokoh, perlahan banyak diikuti ilmuan sosial di Indonesia. Juga, lambat laun berpengaruh di jantung pemerintahan.
Apalagi setelah Arief melontar pandangan bahwa teori-teori sosial diimpor dari Barat, meski sifatnya universal, tapi tidaklah bebas nilai.
Sebab menurutnya, ilmu-ilmu sosial latarnya adalah idiologi imperialisme ekonomi.
Oleh karena itu, baginya belum tentu cocok pula diterapkan di negara sedang berkembang, seperti di Indonesia.
Upaya pengentasan kemiskinan dan pemajuan pembangunan negara-negara di dunia ketiga, kata Arief Budiman tidak akan pernah berhasil, sepanjang struktur hubungan antara negera maju serta negara miskin tak diubah melalui pendekatan kemitraan seimbang.
Sebab negara Barat yang lebih maju dengan pemahaman kapitalismenya, akan tetap saja mengeksploitasi negara-negara lemah yang masih berkutat dinamika serta problematikanya masing-masing.
**
Terlepas dari lontaran-lontaran pemikirannya yang kritis dan berbau Marxis, Arief Budiman sebelumnya juga dikenal sebagai pekerja seni.
Dia, salah satu pendiri dan juga Ketua Dewan Kesenian Jakarta, redaktur majalah sastra Horisan, anggota Badan Sensor Film Indonesia.
Di berbagai media cetak tehampar banyak cerpennya, sajak, juga ulasannya tentang film.
Guru Besar Universitas Melborne di Australia, yang lahir di Jakarta, 3 Januari 1939 itu, telah dikebumikan di Salatiga.
Demonstran angkatan ‘66 itu, benar telah pergi, tapi tapak kakinya di jalanan, goresan pena dan hentak pemikirannya di lembaran kertas, tentu saja akan tetap membekas, juga dikenang.
Seperti adiknya Soe Hok Gie, yang telah mendahului. (*)
Makassar, 23 April 2020