Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Catatan Armin Mustamin Toputiri

Selamat Jalan Profesor Arief Budiman

Pertengahan 1988. Saat itu saya memimpin rombongan mahasiswa seangkatan melaksanakan Studi Banding Jawa-Bali.

Editor: Jumadi Mappanganro
fB Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri 

(Soe Hok Djin Kakak Soe Hok Gie Telah Pergi)

Oleh Armin Mustamin Toputiri
Anggota DPRD Sulsel periode 2014-2019

Pertengahan 1988. Saat itu saya memimpin rombongan mahasiswa seangkatan melaksanakan Studi Banding Jawa-Bali.

Selaku ketua senat mahasiswa di fakultas, saya menyisip jadwal agar juga mengunjungi kampus Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga, Jawa Tengah.

Usulan saya semula ditolak banyak teman. Dalih mereka rasional.

Letak Salatiga berdekatan Kota Semarang, sehingga jalur kunjungan dari Jogyakarta menuju Malang, akan memutar jauh jika hendak mampir ke Salatiga.

Tetapi karena saya selaku ketua senat tetap ngotot -- bahkan sedikit otoriter -- jadwal kunjungan ke Salatiga akhirnya disepakati.

Coba memahami dalih saya ketika itu, saya bingung sendiri.

BREAKING NEWS: Bupati Adnan Umumkan PSBB Gowa Diterapkan Rabu

Baru lebih setahun menduduki bangku kuliah, tapi memang kenapa saya sengotot itu mau mengunjungi universitas yang tak seterkenal UGM yang dikunjungi di Jogya. Juga Unibraw Malang yang akan didatangi.

Tahu dari mana saya, Universitas Kristen yang jauhnya 50 km dari Kota Semarang itu?

Saya meraba-raba, mungkin di kala itu, di benak saya tersimpan banyak memori dari bacaan beberapa tahun sebelumnya.

Ketika itu saya rajin mengunjungi perpustakaan masa bersekolah pendidikan menengah di pondok pesantren.

Mungkin dari bacaan itulah, saya tahu, bahkan terprovokasi ingin tahu lebih dekat kondisi Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga itu.

**

Namun, sore tadi 23 April 2020, saya mulai tersadar dorongan semasa mahasiswa itu, ketika saya dapat kabar jika Arief Budiman -- nama aslinya Soe Hok Djin -- meninggal dunia.

Kakak kandung demonstran terpopular Soe Hoek Gie itu, tokoh pergerakan dan intelektual bernas yang dimiliki Indonesia, tak lain adalah dulu seorang pengajar Universitas Kristen Satya Wacana.

Saya ikutan tahu Universitas Kristen Satya Wacana, justru diawali mengenal Arief Budiman.

Sejak pendidikan menengah, saya kenal melalui media cetak yang memuat tulisan, lontaran pemikiran kritisnya, serta gerakan perlawanannya pada pemerintahan Orde Baru.

Namanya kuat melekat di benak saya, lantaran dia berbeda pikiran intelektual Indonesia di masa itu.

Inilah Deretan Amalan Meraih Keutaman di 10 Hari Pertama Ramadan

Saya semakin akrab pemikiran dan gagasan kritis Arief Budiman yang berbau Marxis, ketika saya mulai intens menggeluti banyak bacaan di kelompok studi dan dunia aktifis mahasiswa.

Terutama banyak artikelnya terbit di Harian Kompas, Sinar Harapan, Tempo, serta Horison, lebih lagi di majalah Prisma, terbitan LP3ES. Majalah ilmiah populer cukup disegani kala itu.

**

Senarai pemikiran dan pandangan Arief Budiman, sekalipun banyak tersebar dalam berbagai makalah, artikel serta banyak buku, tapi jika dicermati, seutuhnya telah terangkum di dalam buku “Kebebasan, Negara, Pembangunan”.

Kumpulan seratusan tulisan Arief Budiman yang terserak yang digarap Luthfi Assyaukanie dari Freedom Institute-nya Rizal Mallarangeng.

Kemudian 2006 diterbitkan bekerjasama Pustaka Alvabet.

Demonstran angkatan ‘66, penantang “demokrasi terpimpin”-nya Soekarno itu, sekembali dari Amerika Serikat seusai meraih gelar doktornya di Harvard University, segera melancarkan pertentangan terhadap cara pandang berkecenderungan Barat dianut oleh banyak ilmuwan di Indonesia.

Mereka berpandangan bahwa teori modernisasi sifatnya universal, sehingga tidak keliru andaikan juga diterapkanlah dalam rumusan orientasi pembangunan di Indonesia.

Mereka para ilmuan yang berkontribusi dalam perumusan orientasi pembangunan nasional itu, oleh Luthfi Assyaukanie menulis, mereka penganut modernisasi yang berpikiran bahwa kemiskinan suatu negara, pangkal muaranya pada persoalan internal negara bersangkutan.

Maka satu-satunya rumusan teori yang bisa dilakukan untuk keluar dari jebakatan itu ialah memodernkan negara itu sendiri, menyamai negara lain, termasuk juga dengan Indonesia.

Arief Budiman, datang mempertanyakan asumsi-asumsi teori modernisasi digunakan para penyusun orientasi pembangunan Indonesia itu.

Dia menghentak dengan ‘teori struktural’ sebagai terobosan alternatif paradigma modernisasi.

Kata Arief Budiman, pemikiran yang menyatakan bahwa kemiskinan suatu negara disebabkan faktor internal, sama sekali keliru.

Menurut dia, justru diakibatkan oleh bekerjanya kekuatan kapitalis golobal di luar negara yang menjadi sumber persoalan sehingga negara gagal menjalankan pembangunannya.

Meski lontaran pandangannya berbeda dan dianggap kritis, tapi karena argumennya kokoh, perlahan banyak diikuti ilmuan sosial di Indonesia. Juga, lambat laun berpengaruh di jantung pemerintahan.

Apalagi setelah Arief melontar pandangan bahwa teori-teori sosial diimpor dari Barat, meski sifatnya universal, tapi tidaklah bebas nilai.

Sebab menurutnya, ilmu-ilmu sosial latarnya adalah idiologi imperialisme ekonomi.

Oleh karena itu, baginya belum tentu cocok pula diterapkan di negara sedang berkembang, seperti di Indonesia.

Upaya pengentasan kemiskinan dan pemajuan pembangunan negara-negara di dunia ketiga, kata Arief Budiman tidak akan pernah berhasil, sepanjang struktur hubungan antara negera maju serta negara miskin tak diubah melalui pendekatan kemitraan seimbang.

Sebab negara Barat yang lebih maju dengan pemahaman kapitalismenya, akan tetap saja mengeksploitasi negara-negara lemah yang masih berkutat dinamika serta problematikanya masing-masing.

**

Terlepas dari lontaran-lontaran pemikirannya yang kritis dan berbau Marxis, Arief Budiman sebelumnya juga dikenal sebagai pekerja seni.

Dia, salah satu pendiri dan juga Ketua Dewan Kesenian Jakarta, redaktur majalah sastra Horisan, anggota Badan Sensor Film Indonesia.

Di berbagai media cetak tehampar banyak cerpennya, sajak, juga ulasannya tentang film.

Guru Besar Universitas Melborne di Australia, yang lahir di Jakarta, 3 Januari 1939 itu, telah dikebumikan di Salatiga.

Demonstran angkatan ‘66 itu, benar telah pergi, tapi tapak kakinya di jalanan, goresan pena dan hentak pemikirannya di lembaran kertas, tentu saja akan tetap membekas, juga dikenang.

Seperti adiknya Soe Hok Gie, yang telah mendahului. (*)

Makassar, 23 April 2020

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Miris

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved