Ketua MA Terpilih Saat Pandemi Covid-19
Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga. Seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya

Oleh: Abdul Aziz Saleh SH MH
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Wilayah Sulawesi Selatan
Indonesia secara konstitusional menjujung tinggi konsepsi negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945. Salah satu variabel penting dalam keberlangsungan penyelenggaraan bernegara adalah penegakan hukum sebagai ujung tombak tercapainya keadilan.
Dalam proses penegakan hukum (law enforcement), hakim menjadi salah satu aktor utama yang secara fungsional. Tidak sekadar memutus suatu perkara dengan barisan pasal-pasal mati atau hanya menjadi corong undang-undang, tetapi juga diberikan ruang untuk menginterpretasi (living interpretator) atau menemukan hukum (rechtsvinding) guna menegakkan keadilan.
Itu karena hakim memiliki posisi yang sangat fundamental untuk memastikan terwujudnya keadilan. Tepat pada Senin lalu, 6 April 2020, Dr M Syarifuddin SH MH terpilih secara demokratis sebagai Ketua Mahkamah Agung (MA) RI periode 2020-2025.
Putra terbaik asal Palembang tersebut meraih 22 suara mengungguli lima kandidat lainnya. Momen bersejarah ini tentu memunculkan optimisme dan harapan baru para pencari keadilan, meskipun saat ini dihadapkan dengan wabah pandemi Covid-19.
Wakil Tuhan
Ketua MA merupakan jabatan yang sangat mulia. Namun, jika disalahgunakan dapat merendahkan martabatnya. Sebab banyak godaan duniawi yang siap menjerumuskannya. Apalagi MA adalah benteng terakhir ditemukannya keadilan. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda bahwa hakim itu ada tiga: dua orang di neraka dan seorang lagi di surga.
Seorang yang tahu kebenaran dan ia memutuskan dengannya, maka ia di surga. Seorang yang tahu kebenaran, namun ia tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka. Seorang yang tidak tahu kebenaran dan ia memutuskan untuk masyarakat dengan ketidaktahuan, maka ia di neraka." (HR. Imam Empat Hadits shahih menurut Hakim)
Sulit rasanya bagi para hakim untuk menghindar dari pesan sekaligus ancaman yang sangat tegas tersebut. Ibarat wakil Tuhan, di tangan hakimlah, nasib dan masa depan seseorang ditentukan. Olehnya itu, hendaknya hakim senantiasa berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan.
Sebab keduanya merupakan tujuan akhir dari sebuah sistem hukum untuk membangun peradaban bangsa yang bermartabat. Tolok ukur majunya peradaban suatu negara didasarkan pada kehidupan masyarakatnya yang berkeadilan.
Kenyataan menunjukkan bahwa kondisi hakim saat ini belum sepenuhnya sesuai harapan. Terbukti dengan masih banyaknya laporan dan pengaduan kepada Komisi Yudisial tentang pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Ada oknum hakim yang tertangkap tangan oleh KPK karena berani melakukan praktik korupsi. Hal ini dikhawatirkan dapat menghambat reformasi di bidang peradilan.
Dampak Pandemi
Pengadilan merupakan instrumen penting dalam penegakan hukum. Mirisnya, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi pengadilan sampai saat ini masih cukup rendah. Dilansir dari Media Indonesia, mantan Ketua MA Prof Bagir Manan mengatakan “Saya sepakat bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan masih rendah, oleh sebab itu perlu ada self correction”.
Adanya upaya untuk melakukan rekonstruksi rekrutmen hakim diharapkan mampu menjadi langkah awal dalam memperbaiki sistem penegakan hukum di Indonesia sehingga dapat memulihkan kepercayaan publik terhadap pengadilan, demi terciptanya keadilan substantif dalam setiap lini kehidupan.