Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Agama Kok 'NU'?

Ditulis Syuriah PCNU Makassar Afifuddin Harisah. Sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar.

Editor: Jumadi Mappanganro
handover
Dokumen Afifuddin Harisah 

Kultur sarungan warga nahdliyyin yang santun, terbuka dan toleran, menjadikan NU sebagai ormas yang sangat lentur pada dinamika perubahan, peka pada problematika umat, namun tetap teguh pada prinsip tauhid dan mashlahat ‘ammah, kebaikan umat secara umum.

Nahdliyyin

'Agama NU' sama sekali tidak bermakna bahwa warga Nahdliyyin meyakini agama baru dan mengesampingkan Islam.

Sebagaimana halnya istilah Islam Nusantara tidak bermakna adanya Islam lain yang berbeda dari risalah Islam yang disampaikan Rasulullah saw.

Agama NU merupakan cara pandang (paradigma) tentang hal bagaimana paham dan prinsip Ahl al-Sunnah wal Jamaah al-Nahdliyyah menjadi pola serta karakter dasar dalam menempatkan diri pada posisi yang tepat dan moderat.

Tepat dalam menerjemahkan syariat Islam yang bersifat transendetal absolut dalam kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan yang bersifat profan.

Moderat dalam menempatkan diri sebagai bagian dari bangsa yang beradab dan bagian dari umat Islam yang mayoritas di bumi Indonesia, dengan mengedepankan sikap afirmatif pada kemajemukan budaya dan agama.

'Agama NU’ merupakan konsensus dan pengamalan prinsip-prinsip keberagamaan, berbangsa dan bernegara, yang meliputi hal-hal berikut.

Pertama, warga NU (nahdliyyin), dari mulai lapisan terbawah sampai kepada lapisan elit, adalah muslim yang berakidah Islam dengan berlandaskan paham Ahl al-Sunnah wal Jamaah yang washaty (moderat), tawazun dan tasamuh, serta berakhlakul karimah tanpa menanggalkan jati diri dan kulturnya sebagai bangsa Indonesia.

Kedua, warga nahdliyyin berkewajiban mengamalkan syariat Islam secara kaaffah dalam konteks sebagai muslim yang taat, dan pada waktu yang bersamaan menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa dan bernegara.

Pengamalan nilai-nilai Pancasila di negara ini dipandang sebagai keniscayaan dan kesepakatan untuk menciptakan kedamaian dan kemaslahatan, sebagaimana Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah dalam rangka menciptakan relasi damai antara umat muslim dan non muslim di “negara” Madinah.

Ketiga, warga nahdliyyin senantiasa mengedepankan kearifan, kecerdasan, sikap toleran dan santun dalam segala hal, dengan berpegang pada Alquran dan Sunnah, serta loyalitas tinggi kepada para ulama yang mu’tabar dalam pemikiran dan pengamalan syariatnya yang samhah.

Oleh karena itu, tradisi kitab kuning dan bahsul masa’il merupakan referensi yang sangat penting bagi warga nahdliyyin.

Mereka menghindari sikap arogan dan grasa-grusu dalam memahami makna nash Alquran dan Sunnah, terlebih-lebih mengkafirkan orang yang berbeda paham.

Keempat, warga nahdliyyin mengemban misi yang mulia, yaitu memajukan kualitas umat dalam berbagai sektor, berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar ala manhaj Ahl al-Sunnah wa’l Jamaah, dan menciptakan kesejahteraan umum, dalam bingkai al-muhafadzat ala al qadim al-shalih wa’l akhzu bil jadid al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang masih baik dan melakukan inovasi pembaruan untuk tujuan yang lebih baik).

Dengan agama NU, warga nahdliyyin mempertahankan tradisionalismenya, tapi tidak menolak modernitas selama membawa kebaikan bersama.

Selamat Hari Lahir NU yang ke 94. (*)

Halaman 2/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved