Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Agama Kok 'NU'?

Ditulis Syuriah PCNU Makassar Afifuddin Harisah. Sekaligus Pimpinan Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar.

Editor: Jumadi Mappanganro
handover
Dokumen Afifuddin Harisah 

Catatan Menyambut Hari Lahir Ke-94 Tahun NU

Afifuddin Harisah
(Syuriah PCNU Makassar/Pimpinan Pondok Pesantren An Nahdlah Makassar)

Barangkali ini hanya sebuah anekdot lucu-lucuan, banyolan warung kopi dan tidak perlu bikin baper, tatkala satu kelompok masyarakat ditanya, “agamamu apa?”

Mereka jawab, “Agamaku NU (Nahdlatul Ulama).” Agama kok NU?

Negara Indonesia hanya mengakui enam agama resmi yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. Sejak kapan NU jadi agama?

Kehadiran NU di tengah kehidupan dinamika dan perjalanan bangsa Indonesia ini telah membuktikan eksistensinya sebagai ormas yang sangat berpengaruh, bukan saja pada level regional dan nasional, tetapi juga pada level internasional.

Beberapa negara Muslim justru ingin belajar kepada NU bagaimana mengolah dan mengelola keberislaman di negaranya.

Polemik Stadion Mattoanging, Ini Kata Nurdin Abdullah di Hadapan Legislator Sulsel

Empat Rangkuman Menarik saat Kurator Abu Tours Kumpulkan Para Korban

Para ulama nusantara, khususnya di Jawa Timur, bersepakat mendirikan jam’iyyah (organisasi) Nahdlatul Ulama dengan dua alasan utama.

Pertama, untuk menyelamatkan dan melestarikan tradisi Ahl al-Sunnah wa’l Jama’ah yang terancam digerus oleh kekuasaan dogmatis Wahabiyah di Saudi Arabia.

Situs-situs yang dihormati oleh umat Islam terancam diratakan dengan tanah dan rencana pelarangan pengamalan mazhab-mazhab yang dianggap berbeda dari pemahaman Wahabiyah.

Kedua, adalah nasionalisme. NU dibentuk sebagai organisasi para ulama dan santri untuk menolak imperialisme dan merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan penjajah Belanda dan Jepang.

Perjuangan NU bukan semata-mata perjuangan atas nama agama, tetapi atas nama kedaulatan bangsa yang mencintai tanah airnya dan berhak atas kebebasan dan kemerdekaan.

Dari situ, peran dan eksistensinya dari masa ke masa hingga saat ini membuktikan bahwa NU adalah pengawal dan garda terdepan terbentuknya NKRI.

NU telah membuktikan peran politik strategisnya dalam menjaga keutuhan bangsa dari upaya disintegrasi dan ronrongan pihak-pihak yang merusak kedamaian umat.

Dengan kekuatan tradisi pesantren yang populis, pluralis dan multikulturalis, umat Islam mengejawantahkan nilai-nilai rahmatan li al-alamin dalam kehidupan berbagsa dan bernegara.

Kultur sarungan warga nahdliyyin yang santun, terbuka dan toleran, menjadikan NU sebagai ormas yang sangat lentur pada dinamika perubahan, peka pada problematika umat, namun tetap teguh pada prinsip tauhid dan mashlahat ‘ammah, kebaikan umat secara umum.

Nahdliyyin

'Agama NU' sama sekali tidak bermakna bahwa warga Nahdliyyin meyakini agama baru dan mengesampingkan Islam.

Sebagaimana halnya istilah Islam Nusantara tidak bermakna adanya Islam lain yang berbeda dari risalah Islam yang disampaikan Rasulullah saw.

Agama NU merupakan cara pandang (paradigma) tentang hal bagaimana paham dan prinsip Ahl al-Sunnah wal Jamaah al-Nahdliyyah menjadi pola serta karakter dasar dalam menempatkan diri pada posisi yang tepat dan moderat.

Tepat dalam menerjemahkan syariat Islam yang bersifat transendetal absolut dalam kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan yang bersifat profan.

Moderat dalam menempatkan diri sebagai bagian dari bangsa yang beradab dan bagian dari umat Islam yang mayoritas di bumi Indonesia, dengan mengedepankan sikap afirmatif pada kemajemukan budaya dan agama.

'Agama NU’ merupakan konsensus dan pengamalan prinsip-prinsip keberagamaan, berbangsa dan bernegara, yang meliputi hal-hal berikut.

Pertama, warga NU (nahdliyyin), dari mulai lapisan terbawah sampai kepada lapisan elit, adalah muslim yang berakidah Islam dengan berlandaskan paham Ahl al-Sunnah wal Jamaah yang washaty (moderat), tawazun dan tasamuh, serta berakhlakul karimah tanpa menanggalkan jati diri dan kulturnya sebagai bangsa Indonesia.

Kedua, warga nahdliyyin berkewajiban mengamalkan syariat Islam secara kaaffah dalam konteks sebagai muslim yang taat, dan pada waktu yang bersamaan menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar berbangsa dan bernegara.

Pengamalan nilai-nilai Pancasila di negara ini dipandang sebagai keniscayaan dan kesepakatan untuk menciptakan kedamaian dan kemaslahatan, sebagaimana Piagam Madinah yang digagas oleh Rasulullah dalam rangka menciptakan relasi damai antara umat muslim dan non muslim di “negara” Madinah.

Ketiga, warga nahdliyyin senantiasa mengedepankan kearifan, kecerdasan, sikap toleran dan santun dalam segala hal, dengan berpegang pada Alquran dan Sunnah, serta loyalitas tinggi kepada para ulama yang mu’tabar dalam pemikiran dan pengamalan syariatnya yang samhah.

Oleh karena itu, tradisi kitab kuning dan bahsul masa’il merupakan referensi yang sangat penting bagi warga nahdliyyin.

Mereka menghindari sikap arogan dan grasa-grusu dalam memahami makna nash Alquran dan Sunnah, terlebih-lebih mengkafirkan orang yang berbeda paham.

Keempat, warga nahdliyyin mengemban misi yang mulia, yaitu memajukan kualitas umat dalam berbagai sektor, berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar ala manhaj Ahl al-Sunnah wa’l Jamaah, dan menciptakan kesejahteraan umum, dalam bingkai al-muhafadzat ala al qadim al-shalih wa’l akhzu bil jadid al-ashlah (menjaga nilai-nilai lama yang masih baik dan melakukan inovasi pembaruan untuk tujuan yang lebih baik).

Dengan agama NU, warga nahdliyyin mempertahankan tradisionalismenya, tapi tidak menolak modernitas selama membawa kebaikan bersama.

Selamat Hari Lahir NU yang ke 94. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved