Hak-Hak Anak pada Hari Anak Sedunia
Menurut BPS (2019), lulusan SMK, diploma, SMA, dan universitas mendominasi pengangguran di Indonesia
Oleh: Nigel Roy Tantan
(Statistisi Pertama BPS Kabupaten Toraja Utara)
Hari Anak Sedunia atau Universal Children’s Day diperingati setiap 20 November. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kesejahteraan dan pemenuhan hak-hak dasar anak. Pemenuhan terhadap kebutuhan hak dasar anak harus menjadi prioritas utama baik bagi pemangku kebijakan, tokoh masyarakat, dan keluarga.
Undang-Undang (UU) Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan anak sebagai mereka yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Konsep ini juga digunakan secara luas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Badan Pusat Statistik (BPS).
Lalu, bagaimana kita mengukur hak-hak anak ini? Apa yang telah dan sedang diupayakan oleh pemerintah?
Hak Dalam Angka
Pertama dari keberlangsungan hidup anak. Mari kita lihat dari angka kematian balita (penduduk berusia kurang dari 5 tahun). Menurut United Nations Children’s Fund (UNICEF, 2018), sekitar 125 ribu balita meninggal dunia di Indonesia.
Sekitar enam dari sepuluh anak tersebut tidak memiliki jaminan kesehatan. Ditambah dengan hampir separuh anak Indonesia tidak memperoleh imunisasi secara lengkap ketika mereka berusia di bawah dua tahun (baduta).
Kedua, dari perkawinan anak. UNICEF menganggap bahwa pernikahan dini ini merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Anak cenderung tidak siap secara fisik, mental, dan ekonomi untuk membangun rumah tangga. Nahasnya, pernikahan dini merupakan suatu hal yang lumrah di Indonesia. Satu dari sembilan anak perempuan menikah di usia kurang dari 18 tahun.
Sebagian besar mereka yang menikah dini berpendidikan maksimal SD. Kalaupun ada yang bersekolah tingkat menengah, kebanyakan akan mengakhiri pendidikannya ketika menikah (Barry, 2015).
Wanita yang berusia kurang dari 20 tahun memiliki kecenderungan mengalami keguguran dua kali lebih besar dibandingkan wanita dewasa. Tidak hanya berbahaya bagi calon bayi, komplikasi selama kehamilan serta proses melahirkan merupakan penyebab utama
kematian wanita berusia 15-19 tahun di dunia.
Ketiga, nutrisi baduta dan makanan anak. Bagi baduta, pemberian ASI eksklusif tanpa makanan pendamping (sampai 6 bulan) dan ASI berkelanjuan (6-23 bulan) sangat penting bagi tumbuh kembang mereka. Mulai dari meningkatkan kekebalan terhadap alergi,
penyakit, dan obesitas sampai dengan mencegah infeksi, diabetes maupun kanker.
Bagi ibu yang menyusui pun dapat mengurangi risiko diabetes dan kanker payudara. Lalu, bagaimana kondisinya di Indonesia? Tiga dari sepuluh baduta tidak mendapatkan ASI sesuai usianya. Bila kita mengonversinya menjadi angka, hal ini dapat disamakan dengan
32,34 persen baduta.
Peraturan Menteri Kesehatan No 75 tahun 2013 tentang angka kecukupan gizi memberikan rekomendasi besaran minimum kalori yang harus dikonsumsi per harinya agar dapat bertumbuh kembang dengan sehat.
Satu dari empat anak yang masuk kategori balita (0-4 tahun), dan tiga dari sepuluh anak yang berusia 5-17 tahun mengonsumsi kalori kurang dari kebutuhan minimum yang dibutuhkan.
Keempat, akses terhadap pendidikan. Belakangan ini, fokus kita tidak lagi hanya menghasilkan lulusan pendidikan yang banyak, tetapi bagaimana meningkatkan kualitas mereka. Menurut BPS (2019), lulusan SMK, diploma, SMA, dan universitas mendominasi
pengangguran di Indonesia.
Sebelum beranjak menuju peningkatan kualitas tersebut, mari kita menoleh pada kuantitas pendidikan saat ini yang masih menjadi PR bersama. Delapan dari seratus anak Indonesia tidak mengeyam bangku sekolah.
Dari anak-anak yang mengeyam pendidikan, satu dari lima anak umur 7-17 tahun terlambat minimal 1 tahun dari jenjang dan kelas yang seharusnya diduduki. Kelima, akses terhadap air minum dan sanitasi layak.
Minum air kemasan ataupun isi ulang adalah hal yang lumrah bagi kita. Buang air besar pada kloset leher angsa sudah tidak asing lagi.
Tapi, bagaimana dengan sebagian anak di Indonesia? Tiga dari sepuluh anak Indonesia tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak.
Mereka mengonsumsi air minum yang berpotensi terkontaminasi bakteri dan racun. Fasilitas buang air besar (sanitasi) yang tidak layak berpotensi mengganggu kesehatan penggunanya. Hampir 40 persen anak Indonesia menggunakan fasilitas sanitasi yang tidak layak ini.
Upaya Pemangku Kebijakan
Berbagai upaya dilakukan para pemangku kebijakan dalam mengentaskan permasalahan pemenuhan hak-hak dasar anak. September 2019 lalu, DPR mengesahan revisi UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, di mana usia paling cepat untuk menikah adalah 19 tahun. Langkah ini dilakukan untuk meredam pernikahan dini yang sudah masuk lampu kuning.
Sederet program kesehatan digelontorkan pemerintah, mulai dari Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Bantuan Ranstra, Bantuan Pangan Non-Tunai (BNPT), Program Imunisasi Nasional (NIP), dan lain-lain. Begitu pula dalam bidang pendidikan. Tidak tanggung-tanggung, anggaran pendidikan menyerap 20 persen porsi APBN.
Meskipun sudah sesuai landasan dan koridor, kebijakan-kebijakan tersebut harus terus dipantau dan diperbaiki secara berkelanjutan.
Evaluasi kebijakan berkesinambungan baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta masyarakat secara luas perlu dilakukan guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas program-program pemenuhan hak dasar anak. (*)