OPINI
OPINI - Menyoal BPJS Kesehatan
Keputusan ini pun menuai kritik dari masyarakat. Di tengah beban hidup yang kian berat, menaikkan iuran BPJS ini dianggap tidak tepat.
Oleh:
Undiana
Forum Muslimah Peduli Keluarga dan Generasi Makassar
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengusulkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020. Kenaikannya bahkan mencapai 100 persen.
Alasan kenaikan ini adalah untuk menutupi keuangan BPJS Kesehatan yang terus mengalami defisit.
Keputusan ini pun menuai kritik dari masyarakat. Di tengah beban hidup yang kian berat, menaikkan iuran BPJS ini dianggap tidak tepat.
Anggota DPR RI Komisi IX dan XI juga menolak rencana ini. Namun penolakan kenaikan iuran ini hanya berlaku bagi peserta BPJS Kesehatan kelas III. (makassar.tribunnews.com, 3/9/2019).
Sejak resmi beroperasi pada 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan memang tak pernah sepi dari kontorversi. Setidaknya ada beberapa hal yang sering mengemuka.
Pertama, BPJS sering disebut sebagai jaminan kesehatan gratis yang disediakan oleh pemerintah.
Kenyataannya, para peserta diwajibkan membayar iuran (premi) tiap bulan sebagaimana dalam asuransi. Bahkan iurannya kini akan naik hingga 100 persen.
Maka, pada dasarnya tak ada jaminan dari pemerintah, karena masyarakat sendiri yang membayarnya demi mendapatkan pelayanan.
Baca: Pemerintah Desa Batara Pangkep Gelar Rembuk Stunting
Jika tak ikut kepesertaan, tak berhak untuk dilayani kecuali dengan menjadi pasien umum dengan biaya yang lebih besar. Kedua, dalam banyak kasus, pelayanan yang diberikan seringkali tidak maksimal.
Terutama untuk kasus penyakit berat yang membutuhkan biaya besar. Klaim ditolak, atau peserta harus membayar sendiri jenis tindakan medis/obat tertentu yang tidak masuk dalam klaim BPJS.
Ketiga, keberadaan BPJS diduga merupakan bentuk lepasnya tanggungjawab pemerintah dalam mengurus urusan rakyatnya dalam bidang kesehatan.
Faktanya, sekian tahun berjalan, pro-kontra tidak pernah usai. Mulai pelayanan yang kian berbelit, tidak optimal, hingga iuran yang kini akan dinaikkan.
Ini sejatinya menunjukkan kegagalan pemerintah dan lembaga penjamin dalam memenuhi hajat hidup kesehatan masyarakat.
Di sisi lain, benar bahwa sebagian masyarakat telah merasakan keberadaan BPJS.
Tidak dipungut bayaran meski untuk kasus-kasus berat seperti operasi, perawatan ICU dan lain-lain. Namun, tidak semua peserta merasakan manfaat tersebut.
Bagi yang sakit, mungkin akan sangat terbantu, tapi bagi yang tidak sakit, tidak akan mendapatkan apa-apa.
Sementara iuran harus tetap wajib dibayar. Bahkan jika telat membayar, akan kena denda.
Baca: Tahanan Lapas Mamasa Kedapatan Kerja Proyek, Diduga Membayar Agar Diizinkan Keluar
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah manfaatnya akan dirasakan pada masa depan jika dia sakit?” Justru di situlah unsur gharar (ketidakpastian, uncertainty) dari BPJS itu.
Pasalnya, seseorang tidak tahu pasti apakah dia akan sakit atau tidak pada masa depan. Jadi bayarnya pasti, tetapi manfaatnya tidak pasti.
Adilkah muamalah seperti ini? (KH. M. Shiddiq Al Jawi/Alwa’I, September 2015).
Penguasa
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan mendasar bagi masyarakat.
Karenanya, Islam telah mewajibkan penguasa untuk memberikan pelayanan secara gratis kepada rakyatnya yang membutuhkan perawatan medis.
Hal ini berdasarkan pada apa yang telah dicontohkan oleh Nabi saw. Dikisahkan oleh Jabir ra bahwa:
“Rasulullah saw pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter itu memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu memasukkan kay (pengecosan dengan besi panas) pada urat itu. (HR. Abu Dawud)
Baca: Cegah Abrasi, 1000 Pohon Mangrove Ditanam di Desa Pao Luwu Utara
Selain itu, terdapat juga kisah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Disebutkan oleh Zaid bin Aslam bahwa kakeknya pernah berkata:
“Aku pernah sakit parah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Lalu Khalifah Umar memanggil seorang dokter untukku. Kemudian dokter itu menyuruhku diet (memantang makanan yang membahayakan) hingga aku harus menghisap biji kurma saking kerasnya diet itu.” (HR. Al Hakim dalam al Mustadrak)
Kedua riwayat di atas menunjukkan pelaksanaan tanggung jawab penguasa kepada rakyatnya dengan menyediakan layanan kesehatan secara cuma-cuma.
Rasulullah saw dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara Islam di Madinah kala itu telah mengupayakan layanan tindakan medis kepada masyarakatnya yang sakit.
Begitupun dengan Khalifah Umar bin Khattab, telah memberikan layanan kesehatan dengan memanggilkan dokter untuk rakyatnya yang sakit.
Maka, seharusnya demikian tanggungjawab yang harus diberikan oleh penguasa kepada rakyatnya.
Menyediakan layanan kesehatan secara gratis.
Tanpa membedakan kaya dan miskin, semua harus mendapatkannya sesuai kebutuhan. Karena kesehatan adalah kebutuhan dasar, yang setiap orang akan memerlukannya.
Terkait pembiayaannya, darimana negara akan mendapatkan dana untuk alokasi kesehatan yang begitu besar?
Baca: Tuntut Kadis Pertanian Jeneponto Dicopot, Massa Serbu Kantor
Dalam hal ini, dana bisa berasal dari hasil kekayaan milik umum yang dikelola negara (seperti hasil tambang, kekayaan laut, hutan, dll).
Atau harta negara yang diperoleh melalui pos-pos yang dibenarkan secara syar’i. Karena itu, dalam Islam harta milik umum haram dimiliki oleh individu atau swasta.
Keberadaannya harus dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk layanan gratis seperti pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Kamis (05/09/2019)