OPINI
OPINI - PSM vs Persija
Penulis adalah Staf Pengajar di Indonesia Community Center (ICC) Johor Bahru, Malaysia
Oleh:
Ardian Nur Rizki
Staf Pengajar di Indonesia Community Center (ICC) Johor Bahru, Malaysia
Antiklimaks! Final Leg ke-2 Piala Indonesia antara PSM Makassar kontra Persija Jakarta –yang sedianya dihelat pada 28 Juli lalu — kini akan digelar hari ini. Masa sepuluh hari yang kemudian terasa sangat gaduh.
Laga final yang semestinya mengejawantahkan puncak supremasi kompetisi justru menunjukkan kondisi yang paradoksal: begitu riuh dengan muatan intrik dan friksi.
Kedua kubu terus melontarkan pernyataan provokatif, baik di hadapan juru berita maupun media sosial.
Kedua klub –baik pengurus maupun suporter— mengeluarkan dalil-dalil pembenaran, saling mencela, dan mengambinghitamkan satu sama lain.
Kultur sepak bola Makassar dicaci urakan dan barbar, pascapecahnya kaca bus yang membawa tim Persija.
Sementara Persija dicela sebagai tim penakut yang dianakemaskan PSSI karena ketidakhadirannya di Stadion Andi Mattalatta sama sekali tidak berbuntut sanksi.
Mode rivalitas sebagaimana ditunjukkan Persija dan PSM tentu bukan hal yang arif dalam ikhtiar membangun iklim persepakbolaan nasional yang kondusif.
Ekkers dan Hoefnagels dalam Agressie en straf op het voetvalveld (1972) menyatakan bahwa tindak-tanduk sebuah tim, baik gesture maupun tutur (psywar), berpengaruh signifikan terhadap pola perilaku suporter.
Baca: ACT Berikan Bantuan Pangan Keluarga Korban Gempa Banten
Pertandingan yang berjalan sportif dan fair berpotensi menciptakan iklim tribune yang kondusif.
Sebaliknya, pertandingan yang keras, kasar, serta sarat kontroversi dan psywar, berpotensi memprovokasi suporter untuk melakukan tindakan serupa.
Dengan demikian, untuk mereduksi potensi kerusuhan, setiap klub seyogianya wawas diri untuk tidak melontarkan pelbagai statement provokatif.
Xenofili
Problema sepak bola Indonesia semakin kompleks beriring dengan mewabahnya xenofili terhadap ultras dan hooliganisme dalam subkultur tribune suporter Indonesia.
Alhasil, banyak suporter yang terpikat dengan fanatisme orang-orang Eropa dalam memaknai sepak bola.
Sebagaimana acap terjadi dalam kultur suporter di benua biru, sepak bola acap diamanahi sebagai representasi identitas, afiliasi politik, hingga agama.
Oleh karena itu, perseteruan antarklub seakan memiliki legitimasi. Di Inggris, MU dan Liverpool adalah seteru seru, fundamen pertentangan keduanya adalah faktor gengsi perekonomian kota.
Di Italia, rivalitas panas antara dua tim ibukota Italia, AS Roma dengan Lazio, distimulasi oleh kesenjangan kelas sosial dan perbedaan afiliasi politik.
Di Skotlandia, perseteruan Old Firm antara Rangers dan Celtic dibumbui aroma lanjutan Reformasi Protestan yang seakan belum bersua kata ‘tuntas’.
Sementara di Spanyol, sudah menjadi rahasia umum bahwa rivalitas panas antara Barcelona dan Real Madrid, selain karena berpacu dalam torehan prestasi, juga disebabkan oleh pro-kontra nasionalisme Catalan terhadap Spanyol.
Baca: Desa Lagading Sidrap Dapat Tambahan 50 KK Transmigrasi
Optik Historis
Jika sudi menelisik dari optik historis, dibanding dengan muatan konflik, sepak bola Indonesia justru lebih banyak membawa muatan patriotik.
Sepak bola hadir membawa gelora persatuan dan perjuangan melawan congkak-culas penjajahan.
Antarklub perserikatan bersinergi, dengan spirit anti-kolonialisme, berjuang segendang-sepenarian untuk mendigdayakan sepakbola nasional (Zen, 2016).
Oleh karena itu, sejatinya tidak ada pembenaran sejarah bagi setiap kebebalan yang bermuara pada perpecahan.
Ada satu fakta unik yang dapat dijadikan preseden mulia dalam menikmati sepak bola.
Ketika sepak bola dimaknai sebagai tontonan yang menghibur sekaligus membawa tuntunan luhur; sewaktu sepak bola dijadikan alat penenun persatuan bangsa; dan kala sepak bola menjadi ajang perekat segala kalangan.
Adalah Final Kompetisi Perserikatan tahun 1942 yang menyajikan pertandingan antara Persebaya
Surabaya kontra Persis Solo.
Laga yang digelar di Stadion Tambaksari, Surabaya, ini begitu menyedot animo arek-arek Suroboyo. Seluruh tiket pertandingan ludes tak bersisa.
Seluruh elemen masyarakat, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, tumpah ruah di stadion untuk menyaksikan laga final bergengsi ini.
Baca: Pemkab Kompak dengan Polres Usulkan Pagelaran Accera Kalompoang di Gowa
Para pembesar Dai Nippon yang empat bulan sebelumnya berhasil menghempas kolonial Belanda juga turut menyaksikan laga final sepak bola bumiputra.
Surat Kabar Soeara Asia edisi 7 Juli 2602 (tahun 2602 adalah tahun jepang, jika dikonversi ke almanak masehi menjadi tahun 1942) menuliskan, “Perhatian penonton boekan main hebatnja sehingga persediaan kartjis habis. Beberapa pembesar Dai Nippon djoega ada melihatnja. Nampak djoega beberapa penonton poetri sehingga pemandangan waktoe itoe sangat segar.”
Para penonton tuan rumah menyambut baik kedatangan penggawa Persis dengan ramah. Mereka bertempik-sorak mengelu-elukan nama penggawa Persis.
Kendati kalah telak dengan skor 5-0, suporter Persebaya tetap sportif dalam mengakui keperkasaan tim tamu. Bahkan mereka turut memberikan aplaus pada Persis.
Sebaliknya, meski berhasil menjadi jawara, bond asal Solo tersebut juga enggan jemawa.
Bahkan, Persis dengan segala kerendahan hati, hendak mengundang Persebaya ke Stadion Sriwedari untuk menggelar laga uji tanding pada tanggal 18 Juli 1942.
Pelbagai fakta historis di atas kiranya dapat menjadi bahan muahasabah untuk berbenah. Mentalitas suporter dalam memaknai rivalitas harus segera diubah.
Stigma pandir harus lekas disingkir. Suporter harus mewawas diri bahwa pengejawantahan rivalitas harus berorientasi pada prestasi –bukan saling melukai, mencederai, ataupun mencaci.
Baca: Empat Tenaga Kesehatan Kabupaten Wajo Ikut Lomba Tingkat Provinsi
Persaingan cukup diwujudkan selama 90 menit dengan adu kreasi di tribune.
Selepasnya, suporter harus kembali baku peluk dan baku jabat dalam kelindan persaudaraan.
Akar sejarah persepakbolaan Indonesia yang sarat akan nilai kejuangan dapat dijadikan alat untuk menempatkan sepak bola sebagai penggalang persatuan.
Sepak bola seyogianya dieksekusi sebagaimana khitahnya, yaitu sebagai olahraga.
Sepak bola harus kembali pada muruahnya, yakni sebagai pemersatu bangsa. Semoga PSM dan Persija dapat mencontohkannya! (*)
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Selasa (06/08/2019)