OPINI
OPINI - Memaknai Idulfitri
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an & Tafsir Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Oleh:
Muhammad Affian
Mahasiswa Ilmu Al-Qur'an & Tafsir Pascasarjana UIN Alauddin Makassar
Idulfitri bagi sebagian masyarakat Indonesia memiliki arti dan makna yang sangat unik, sehingga biasanya ditandai dengan aneka ragam persiapan diri untuk menyambut kedatangannya.
Mulai dari euforia mudik ke kampung halaman. Mempersiapkan pakaian baru untuk bersilaturahim, melengkapi perabot rumah agar ia menjadi indah ketika tamu berkunjung.
Hingga menyiapkan beraneka ragam makanan dan minuman.
Hal yang tidak bisa di lepas saat ini adalah sebagian orang merasa kurang afdhal jika tidak memakai atau menggunakan sesuatu yang baru saat Lebaran.
Padahal lebaran Idulfitri tidaklah melulu identik dengan sesuatu yang baru tetapi sejatinya Idulfitri lebih kepada kesucian jiwa dan rasa tulus kepada Allah dalam melaksanakan perintah-Nya.
Mesti digarisbawahi bahwa menyiapkan aneka persiapan ketika lebaran Idulfitri sah-sah saja dilakukan apabila dilandasi dengan niat yang tulus dan murni karena Allah.
Namun jangan sampai memberatkan diri dan melampaui batas serta menyimpang dari ajaran agama.
Misalnya, karena ingin mendapat pujian dan sanjungan, unsur riya dengan memamerkan kekayaan, bersikap mubazir dan lain-lain. Yang demikian ialah hal yang tidak diperkenankan oleh agama.
Baca: Turun Temurun, Begini Tradisi Warga Gorontalo di Parigi Sepekan Setelah Lebaran
Hakikat Idulfitri
Idulfitri adalah merupakan puncak dari pelaksanaan ibadah puasa.
Idulfitri memiliki makna yang berkaitan erat dengan tujuan yang akan dicapai dari kewajiban berpuasa itu sendiri yakni predikat ‘takwa’. Kata ‘Id berarti ‘kembali’ dan kata fithr berarti ‘agama yang benar’ atau ‘kesucian’.
Kalau kita memahaminya sebagai ‘agama yang benar’, maka hal tersebut menuntut akan keserasian hubungan. Karena keserasian tersebut merupakan tanda keberagamaan yang benar.
Fithrah yang berarti ‘kesucian’ ini dapat dipahami bahkan dirasakan maknanya pada saat kita duduk termenung seorang diri.
Ketika pikiran mulai tenang, kesibukan hidup atau haru hati telah dapat teratasi, akan terdengar suara nurani yang mengajak kita untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha-mutlak, yang mengantar kita untuk menyadari betapa lemahnya manusia di hadapan-Nya.
Suara yang kita dengarkan itu adalah suara fitra manusia yakni suara kesucian. Suara itulah yang dikumandangkan pada saat Idulfitri yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar.