OPINI
OPINI - Golput Dalam Sorotan Milenial
Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.
Sedangkan dalam segmentasi pemilih Indonesia, pemilih rational voters (pemilih rasional) sekitar 52,8%, pemilih swing voters (pemilih galau) sekitar 37,8%, dan pemilih apathetic voters (pemilih apatis) sekitar 9,8% (Sumber; Alvara Research Center, 2018).
Nah, pemilih galau dan apatis inilah yang harus kita edukasi dengan pendidikan politik.
Pengamat perencanaan pembangunan nasional Syahrial Loetan menyebutkan beberapa dampak negative golput.
Pertama, mayoritas penduduk berpotensi tidak mendukung program pembangunan yang digagas pemerintah.
Kedua, kelompok golput akan berpotensi menjadi kekuatan ‘sabotase’ atas program pemerintah, dan bahkan memperlambat laju program pembangunan.
Ketiga, kelompok golput akan merasa berada diluar kebijakan pemerintah dan tidak adil dalam mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah. Ini akan membentuk masyarakat apatis karena tidak mengawal pembangunan.
Baca: Survei Menangkan Prabowo-Sandi di Sulsel, Ini Kata Nurdin Halid
Generasi milenial harus mampu menafsirkan zamannya, bukan gagal tafsir terhadap perannya. Mereka harus menjadi leader bukan follower; mengikuti arus zaman kemana membawanya.
Memberikan literasi politik, mengedukasi publik dengan buah pikiran melalui tulisan, gerakan mahasiswa dan pemuda, gerakan intelektual organik dan pendidikan, komunitas hobi, kepakaran bidang dan format lainnya.
Dengan edukasi tersebut, publik akan sadar atau melek politik, karena musuh kita saat ini bukan lagi melawan rezim seperti halnya perjuangan mahasiswa tahun 98 atau sebelumnya.
Tapi musuh kita saat ini adalah melawan pemikiran. Kalau generasi mudanya alergi pada politik maka jangan tanya seperti apa masa depan bangsa kita, literasi politik berarti kita telah kampanye jalan pikiran. Ayo turn back golput bersama-sama!!!
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Selasa 12 Maret 2019