Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Golput Dalam Sorotan Milenial

Golongan putih kemudian juga digunakan sebagai istilah lawan bagi Golongan Karya, partai politik dominan pada masa Orde Baru.

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Golput Dalam Sorotan Milenial
tribun timur
Pegiat Literasi

Rakyat yang dipimpin khalifah juga memiliki karakternya sendiri. Rakyat kerajaan menginginkan seorang bos, rakyat khalifah menginginkan seorang pemimpin.

Rakyat kerajaan menginginkan seorang penguasa, rakyat khalifah menginginkan pelayan. Rakyat kerajaan senang dengan penguasa yang royal, rakyat khalifah menghargai pemimpin yang bersahaja..

Baca: Kronologi, Alasan Prabowo Subianto Pukul Tangan Petugas Keamanan, Begini Faktanya Versi Dahnil Anzar

Rakyat kerajaan suka menjilat penguasa yang megaloman, rakyat khalifah mengontrol pemimpin agar tidak menjelma menjadi Tuhan.

Rakyat kerajaan takut pada penguasa tiran, rakyat khalifah melawan penguasa diktator. Rakyat kerajaan cenderung hedonis. Rakyat khalifah berorientasi pada kebijakan sosial (Baca: Dari gerakan ke negara).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang untuk melakukan golput maka itu dapat disimpulkan menjadi tiga kategori.

Pertama, golput ideologis. Golongan ini mengakar dari doktrin-doktrin yang selama ini di terimanya.

Misalnya dari salah harakah Islam yang menolak demokrasi, dengan mengatakan hal itu haram, sehingga memengaruhi opini publik.

Kadar kelompok golput ini cukup tinggi, karena legitimasinya berasal dari pemikiran-pemikiran dan dalil-dalil politis yang dibuat sedemikian rupa agar relevan.

Baca: Andi Arief Sebut Pemilik TVOne Sudah Minta Maaf tapi Urusan dengan Karni Ilyas Belum Selesai

Kedua, golput sosiologis. Golongan ini adalah orang-orang yang merasa selalu diberi harapan palsu oleh para peserta pemilu dan merasa selalu dikhianati sehingga merasa tidak percaya lagi dan menjadi apatis.

Mereka adalah penikmat demokrasi sejak awalnya,berpikiran kritis dan berharap banyak pada system dan wakilnya di parlemen.

Tapi sayang mereka terlalu sering dikecewakan, sehingga mereka banyak memengaruhi publik dengan argumentasi demagogical politik; saling hujat dan kebencian yang destruktif.

Ketiga, golput operasional. Golongan ini adalah mereka yang memang kurang tahu tentang pemilu, pindah domisili atau keadaan lainnya. Ketika memilih mereka tidak terdaftar di DPT (kesalahan teknis).

Ini satu-satunya golput yang bisa ditoleransi, karena tidak dibebankan kesalahan kepada mereka.
Tingkat golput dalam pemilu di Indonesia setiap tahunnya semakin meningkat.

Pada 2004, pemilih yang golput pileg sebesar 15,9%. Tahun 2004 pilpres putaran 1 sebesar 21,18% dan tahun 2005 pilpres putaran 2 sebesar 23,4%. Pada pileg 2009, angka tingkat golput sebesar 29,3%.

Baca: Tolak Tuntutan 17 Tahun, Dua Begal Sadis di Makassar Minta Keringanan Hukuman

Sedangkan golput di Pilpres sebesar 28,3%. Sementara pada Pileg 2014, tingkat golputnya sebesar 24,8%. Pilpres 2014 golput sebesar 29,1% (Sumber; Rappler Indonesia).

Halaman
123
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Gen Z dan Politik

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved