Aktivis HMI Pinrang Ini Sebut Revisi UU MD3 Bungkam Masyarakat
Undang-udang itu sangat inkonstitusional dan tak lagi mengedepankan spirit tata kelola perlemen yang lebih baik.
Penulis: Hery Syahrullah | Editor: Hasriyani Latif
Laporan Wartawan TribunPinrang.com, Hery Syahrullah
TRIBUNPINRANG.COM, WATANG SAWITTO - Isu revisi Undang-undang (UU) tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disoal oleh berbagai kalangan. Tak terkecuali Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Pinrang.
Aktivis HMI Pinrang, Aidil, mengatakan Undang-udang itu sangat inkonstitusional dan tak lagi mengedepankan spirit tata kelola perlemen yang lebih baik, tetapi lebih kepada niat kepentingan kotor anggota DPR yang bersifat pragmatis.
"Itu dilakukan semata-mata untuk memproteksi diri dari jeratan tindak pidana, juga mendiskriminasi warga negara yang mengganggu kenyamanannya," tutur Aidil kepada TribunPinrang.com, Senin (19/2/2018).
Aidil menyebutkan, salah satu poin yang membuktikan Undang-undang tersebut inkonstitusional adalah adanya pasal 245 UU MD3 tentang hak imunitas DPR yang mengharuskan adanya persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), dalam memeriksa anggota DPR yang tersangkut tindak pidana.
Baca: UU MD3 Disahkan, TII: Langkah Mundur Bagi Demokrasi dan Pemberantasan Korupsi
Baca: Soal UU MD3, ACC Sulawesi Bilang Begini
"Pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2015, sedangkan putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Artinya pasal 245 UU MD3 jelas inkonstitusional," ujarnya.
Selain itu, katanya, pasal 122 huruf k juga menuai polemik. Itu karena isinya yang sangat kontroversi. Dalam pasal itu menyebutkan, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
"Kata merendahkan kehormatan DPR di sini tidak mengandung batasan pemaknaan yang spesifik, seperti apa perlakuan merendahkan kehormatan. Sehingga makna kata tersebut multitafsir dan subjektif. Pasal ini juga membungkam mulut warga negara dalam menyampaikan kritik terhadap kinerja DPR," jelasnya.
Seyogyanya, lanjut Aidil, penyusunan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan tiga landasan, yakni landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Artinya peraturan perundang-undangan harus memperhatikan norma yang benar, kesesuaian kesadaran hukum masyarakat, dan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang lain.
"Dan Undang-undang MD3 tidak berlandaskan itu. Kalau sudah begini, DPR bukan lagi wadah penyambung lidah masyarakat, tetapi wadah pembungkam masyarakat. DPR dijadikan tertutup dan kaku," tuturnya.(*)