Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Jejak Kristen di Tanah Bugis

Sebelum Abad 17M, sebahagian masyarakat Bugis pernah memeluk agama Kristen Katholik yang didakwahkan oleh pedagang dan pendeta Portugis.

Editor: Aldy

Sebelum Abad 17M, sebahagian masyarakat Bugis pernah memeluk agama Kristen Katholik yang didakwahkan oleh pedagang dan pendeta Portugis. Meski diduga berlatarbelakang kepentingan politis, nyatanya raja-raja di kerajaan Siang (kini Bungoro, Pangkep) dan kawasan Ajatappareng pernah dibaptis dalam tradisi Katholik. Proses peralihan kepercayaan patturioloang Bugis ke iman Kristen memang berlangsung singkat dari tahun 1544-1547, namun sebaran agama Kristen mencakup jumlah penduduk yang cukup banyak saat itu, tak kurang dari 340,000 jiwa.
Kerajaan Siang
Ketika gelora petualangan menghinggapi benak bangsa Eropa untuk mencari sumber emas dan rempah-rempah, seorang Portugis bernama Antonio de Paiva singgah di Kerajaan Siang pada tahun 1544. Setelah melakukan diskusi teologis yang hangat, de Pavia kemudian membaptis Datu Suppa La Putebulu beserta anggota keluarganya, berikut Raja Siang beberapa hari setelahnya. Hubungan dua bangsa berbeda ini juga menghasilkan pengiriman empat pangeran Bugis menyertai Antonio de Paiva untuk dididik di Sekolah Jesuit di India, di samping permintaan raja Siang dan Suppa agar Gubernur Portugis di Malaka mengirim pendeta dan bantuan militer. Kisah ini dicatatkan oleh de Pavia sebagaimana dituliskan oleh Stephen C Druce dalam bukunya The Lands West of The Lakes - History of Ajatappareng, (Penerbit KITLV-2009). Yang disebut Ajatappareng adalah konfederasi kerajaan-kerajaan Bugis yang berdiam di tanah subur sebelah barat danau Sidenreng yang terdiri dari Sidenreng, Rappang, Suppa, Bacukiki, Alitta, dan Sawitto.
Portugis rupanya hanya mengindahkan permintaan pertama. Setahun setelah kedatangan de Paiva, sebuah misi khusus kekristenan dipimpin pendeta Vicente Viegas berhasil membaptis penguasa Alitta dan Bacukiki. Kronik lainnya dicatat oleh Manuel Godinho de Eredia, cucu La Putebulu dari ayah seorang Portugis, menyebutkan bahwa turut serta dalam pembaptisan ini adalah raja Sawitto dan Sidenreng. Manuel Godinho de Eredia sendiri, sempat mengenyam pendidikan seminari katholik di Goa dan kemudian menjadi petualang dan ahli geografi terkenal. Lelaki portugis keturunan Bugis ini juga dikenal sebagai penulis sejarah dan orang pertama yang mengindikasikan adanya benua Australia di selatan kepulauan Hindia, yang mana mungkin diperoleh dari cerita-cerita leluhurnya.
Mengingat kekerabatan antara penguasa kawasan Ajatappareng yang saling berkelindan baik dari hubungan darah maupun politis menguatkan dugaan bahwa seluruh raja-raja di Ajatappareng telah memeluk agama Katholik pada tahun 1545, sementara agama Islam baru diproklamirkan sebagai agama resmi Gowa-Tallo pada tahun 1605. Nalar stratifikasi sosial orang Bugis yang cenderung menganut sistem patron-klien memungkinkan peralihan massal keyakinan masyarakat Siang dan Ajatappareng ke dalam pelukan agama baru ini mengikuti rajanya.
Inilah persentuhan awal yang terjadi antara Saoraja (istana) Bugis dengan kepercayaan luar. Meski Islam sudah dikenal di kawasan ini sejak terbukanya hubungan dagang antara Siang dengan Malaka tahun 1490, namun peralihan resmi dari kepercayaan kuno ke agama formal asing masih belum menemukan momentumnya hingga tahun 1544 tersebut. Apalagi pola patron-klien yang sangat kental mensyaratkan pengakuan politis dari pihak istana agar kepercayaan luar itu diterima secara terbuka oleh masyarakatnya.  

Dukungan Militer
Penerimaan penguasa Suppa dan Siang terhadap ajaran Katholik kemungkinan juga dipengaruhi oleh kepentingan politis selain adanya irisan ajaran keduanya. Pada pertengahan abad 16, Suppa dan Siang sedang dalam masa genting karena memburuknya keamanan di kawasan itu. Keduanya sedang membutuhkan aliansi militer yang kokoh untuk memperkuat dominasinya di pantai barat Sulawesi, sehingga Portugis - yang menaklukkan Malaka pada beberapa tahun sebelumnya, menjadi pilihan yang strategis untuk dijadikan mitra militer di kawasan ini. Kerajaan Siang dan Suppa beserta konfederasi Ajatappareng lainnya diketahui merupakan kerajaan yang saling bersahabat. Berdasarkan pertimbangan politis inilah, peralihan iman ke Kristen mengundang dukungan Portugis untuk memperkuat kedudukan mereka di kawasan Sulawesi Selatan dan sekitarnya.
Menurut kronik de Paiva, Kerajaan Siang saat itu baru saja usai memadamkan pemberontakan sejumlah kerajaan bawahannya dan mempertahankan hegemoninya di pantai Mandar dan sepanjang Selat Makassar hingga teluk Kaili di utara yang kaya akan kayu cendana dan emas. Sedang kawasan Ajatappareng juga menghadapi ancaman kerajaan Wajo dari arah timur. Belum lagi bertumbuhnya Kerajaan Gowa di bagian selatan yang sedang berupaya melakukan ekspansi militer menguasai wilayah pantai selatan semenanjung ini. Kekuatan militer Kerajaan Islam Ternate juga menjadi bahan pertimbangan mengingat mereka sudah menguasai Buton di tenggara pada tahun 1542. Karenanya Stephen Druce menengarai bahwa motif Datu Suppa dan Raja Siang memeluk Kristen bukanlah murni berlatar religiusitas, tapi lebih karena kepentingan politis.
Nasib Akhir
Meski Siang dan kawasan Ajatappareng cukup menjanjikan sebagai lahan penyebaran agama bagi pendeta Portugis, tampaknya Bugis tak menjadi prioritas yang penting bagi mereka. Perang yang berkepanjangan antara kerajaan-kerajaan kecil di kawasan itu memperbesar resiko bagi Portugis dibandingkan Maluku yang lebih kaya komoditas rempah-rempah. Apalagi tak lama berselang, sebuah peristiwa menegangkan membuat hubungan keduanya terganggu, yakni dilarikannya seorang putri Datu Suppa oleh perwira Portugis yang kemudian dinikahi secara resmi di Malaka. Setelah peristiwa itu, para pendeta Portugis segera angkat kaki dan tak pernah lagi kembali hingga tahun 1584 yang juga tak begitu lama. Meski demikian, Datu Suppa tetap memeluk agama Kristen hingga mangkatnya, menurut penuturan Manuel Godinho de Eredia, peranakan yang lahir dari pasangan perwira Portugis dengan putri Datu Suppa tersebut.
Sebaran agama Kristen kemudian terhenti total di kawasan Ajatappareng seiring memudarnya kekuasaan mereka. Juga tak ada kabar mengenai kepulangan para pemuda Bugis yang dititipkan untuk dididik secara Katholik di Sekolah Jesuit di India kala itu. Apalagi Portugis rupanya tidak sungguh-sungguh mengirimkan bantuan militer kepada Suppa dan Siang hingga kemudian ditaklukkan Karaeng Lakiyung Tunipalangga, raja Gowa Tallo yang naik tahta tahun 1546-1565.
Kerajaan Siang sendiri kemudian memudar atau melebur ke dalam kerajaan Gowa-Tallo pada periode yang sama. Setelahnya, orang Bugis termasuk Siang dan Ajatappareng memeluk agama islam secara massif. Hingga kini, jejak Kristen tak ditemukan lagi dalam peradaban mereka kecuali termaktub dalam catatan perjalanan orang-orang Portugis di abad 16M. Jumlah orang Bugis yang menganut agama Kristen hingga kini boleh dibilang sangat sedikit, karena sepertinya Islam sudah merasuk menjadi identitas kultural orang Bugis itu sendiri.(*)

Oleh;
Muhammad Ruslailang
Pembaca sejarah dan penulis lepas. Tinggal di Abu Dhabi

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved