Opini
Guru di Tengah Gelombang KA: Hilang atau Bertransformasi?
KA telah menjadi “guru kedua” yang membantu, sekaligus menantang peran pendidik di seluruh Indonesia.
Oleh: Edil Wijaya Nur
Penulis Buku “Kewargaan dan Keadaban Digital”
TRIBUN-TIMUR.COM - Ketika Menteri Komunikasi dan Digital Indonesia mengungkap bahwa 87 persen pelajar kini menggunakan kecerdasan artifisial (KA) untuk mengerjakan tugas sekolah (DetikJogja, 2024), kita seolah dihadapkan pada kenyataan baru yakni ruang belajar kini tidak hanya dihuni oleh guru dan siswa, tetapi juga oleh algoritma.
KA telah menjadi “guru kedua” yang membantu, sekaligus menantang peran pendidik di seluruh Indonesia.
Namun di balik euforia itu, muncul kegelisahan yang wajar: apakah guru akan hilang di tengah gelombang KA, atau justru bertransformasi menjadi sosok baru yang lebih relevan?
Pertanyaan ini terasa makin mendesak ketika kita melihat data yang dirilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam Survei Internet 2025.
Hasilnya menunjukkan 27,34 persen masyarakat Indonesia telah menggunakan KA, dan hampir separuh di antaranya (43,98 persen), memanfaatkan KA untuk belajar. Angka ini melonjak drastis dibandingkan tahun sebelumnya.
Sayangnya, tingkat literasi KA nasional masih rendah—hanya 49,96, atau berada pada kategori “kurang baik” (Kompas, 2025).
Artinya, generasi muda Indonesia memang cepat beradaptasi, tetapi belum cukup memahami bagaimana berpikir dan beretika dalam berinteraksi dengan KA. Mereka pandai menggunakan, tapi belum kritis menilai.
Di sinilah peran guru menjadi semakin penting—bukan hanya sebagai penyampai ilmu, melainkan sebagai penjaga nalar dan moral dalam ruang digital yang semakin kabur batasnya antara benar dan salah.
Penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada Oktober 2025 memperkuat potret ini.
Mereka melibatkan 922 guru dari seluruh Indonesia, studi tersebut menemukan bahwa sebagian besar guru sudah memanfaatkan KA untuk menyusun materi ajar dan mencari metode mengajar yang inovatif.
Bahkan, pengetahuan mereka tentang penggunaan KA tergolong cukup tinggi.
Namun, BRIN juga menemukan sisi lemah yang perlu diwaspadai. Banyak guru yang belum mampu menyesuaikan konten hasil KA dengan konteks pembelajaran di kelas, serta kurang waspada terhadap risiko misinformation dari sistem KA.
Jika kita membaca artikelnya, sebagian besar guru mengaku belajar KA secara otodidak karena belum ada panduan resmi atau pelatihan yang memadai.
Pernyataan ini mengingatkan kita bahwa persoalan guru bukan pada ketidaktahuan teknologi, melainkan pada kebijaksanaan dalam menggunakannya. Guru sedang tidak hanya belajar menjadi melek digital, tapi juga kritis digital.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-25-EDIL-WIJAYA-NUR.jpg)