Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Apa Makna Kepahlawanan Pada Generasi Kini?

Termasuk Gusdur dan Marsinah sebagai jasanya dalam pemikiran Islam dan perjuangan hak buruh.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Yahyatullah Muzakkir Founder Anak Makassar Voice. Andi Yahyatullah Muzakkir salah satu penulis rutin Opini Tribun Timur. 

Oleh: Andi Yahyatullah Muzakkir 

Founder Anak Makassar Voice

TRIBUN-TIMUR.COM - Kenapa Gusdur, Marsinah diterima sementara Soeharto banyak ditolak sebagai pahlawan?

Hari-hari ini santer dibicarakan penetapan Pahlawan oleh Prabowo.

Termasuk Gusdur dan Marsinah sebagai jasanya dalam pemikiran Islam dan perjuangan hak buruh.

Hal menarik lainnya justru presiden ke dua Soeharto menjadi polemik. Mengapa tidak, coba bayangkan Soeharto diberi gelar Pahlawan bertepatan dengan Marsinah, persandingan ini menuai banyak kontroversi.

Sebab, Marsinah tewas di tangan negara yang pemimpinnya kala itu adalah Soeharto.

Hal ini terus dan terus menjadi topik hangat yang dibicarakan dari pusat hingga daerah. 

Akhirnya, polemik ini berbuah penolakan oleh berbagai pihak dan ormas, mereka menolak Soeharto dijadikan sebagai Pahlawan. 

Ada apa? Dan apa saja indikator sebenarnya menjadi seorang Pahlawan?

Hal paling mendasar setidaknya sematan seorang pahlawan dilihat dari jasa-jasanya kepada bangsa dan negara.

Ia yang rela berjuang dan berkorban, ia yang memperjuangkan kebenaran mesti bertaruh nyawa, ia yang terus memikirkan nasib rakyat memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan semuanya.

Ia yang menjadi lambang kehormatan dari pikiran dan perasaannya yang penuh dedikasi pada kebaikan bersama dan ia tentu dengan pikiran yang baik dan benar berjuang dengan cara baik dan benar pula.

Bukan malah sebaliknya. Artinya, sangat tidak adil ketika Soeharto dengan rezim yang sangat diktator disandingkan dengan Marsinah korban kekerasan rezimnya karena memperjuangkan hak buruh.

Lalu apakah pemberian gelar kepahlawanan ini sudah benar?

Meskipun secara sarkastik Rocky Gerung mengatakan bahwa kepahlawanan hari ini bisa dibentuk melalui survei, statistik dan legitimasi negara tetapi ada fakta yang tidak bisa ditolak yaitu bahwa persepsi kita hari ini dibentuk, digiring oleh big data melalui algoritma dan seterusnya. 

Sehingga, kadang-kadang di masa depan segala hal yang terkait dengan keputusan untuk menetapkan seseorang sebagai pahlawan nasional bisa dibentuk melalui survei persepsi publik. 

Akal sehat dan nurani akan menjadi indikator yang kesekian. Sungguh miris.

Sebagai generasi muda kita tentu ikut belajar dari peristiwa hari ini termasuk penetapan Soeharto sebagai seorang pahlawan.

Mengenang jasa-jasa pahlawan lainnya.

Kita mengambil dua sampel yang tepat dan layak yakni Gusdur dalam bidang pemikiran Islam dan jasa-jasanya dalam mencipta dan membangun peradaban yang baik. 

Ia turut mengambil langkah strategis dan keputusan politik seperti demiliterisasi Aceh, Papua, dan penghapusan diskriminasi minoritas hal mana adalah warisan dari rezim Soeharto.

Hal ini justru dipandang sebagai langkah penting dan alternatif dalam hal menjaga tatanan perdamaian.

Meski demikian Gusdur sangat layak dan pantas menjadi seorang Pahlawan bangsa sebab ia berada pada jalan yang tidak menyimpang.

Marsinah yang membela hak kaum buruh, memperjuangkan hak-hak buruh. Bahkan ia menjadi korban dan tewas dengan kesewenang-wenangan rezim Soeharto.

Meski demikian, namanya tercatat di sejarah sebagai simbol perlawanan perempuan. Ia muncul dan terdepan melawan kesewenang-wenangan dan dominasi.

Lebih jauh lagi ia simbol perlawanan rezim yang diktator dan kapitalisme yang rakus. 

Tentu, hal ini sangat dikatakan layak dan pantas diberi gelar kepahlawanan, sebab dedikasi dan perjuangannya yang tidak menyimpang, malahan sebaliknya berkorban demi hak-hak kaum buruh dan hak-hak orang lemah yang selalu dirugikan.

Maka secara mendasar sangat masuk akal kalau tokoh-tokoh yang tersebutkan di atas ditetapkan sebagai pahlawan nasional sebab jasa dan dedikasinya yang sangat mulia.

Secara moral, etika dan logika hal tersebut dipandang sesuai dan tidak menyimpang, sesuai alur dan tidak cacat sudut pandang.

Anak Sekolah dan Sejarah Baru yang kembali ditulis ulang

Sejak penetapan nama-nama pahlawan, sejak itu pula bangsa ini menulis kembali sejarahnya.

Menimbun yang benar, akhirnya rezim hari ini memanipulasi publik mengaburkan fakta dan kebenaran sejarah dan itu sangat menyesatkan.

Hari ini dan hari depan kita sudah bisa membayangkan anak-anak sekolah mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah hingga atas mendapat buku bacaan teks sejarah yang di dalamnya tercatat nama Soeharto sebagai Pahlawan.

Kita sudah tahu isinya, tidak mungkin kekerasan HAM itu tercatat dalam buku-buku teks pelajaran anak sekolah. Maka, disinilah awal mula negara memanipulasi rakyatnya sendiri.

Memang benar bahwa sejarah hanya milik pemenang dan akan ditulis ulang oleh sang pemenang.

Tentu anak-anak sekolah hanya akan belajar hal-hal yang cenderung positif dan tidak mencantumkan bahasa dan kalimat yang negatif sebab hal tersebut akan mendowngrade kepahlawan Soeharto.

Tanpa mengetahui bahwa Soeharto memiliki catatan hitam mencipta luka sejarah yang akan terus abadi dalam ingatan.
Kasus pelanggaran HAM berat, otoriterianisme, korupsi dan nepotisme.

Tercatat kasus pelanggaran HAM Soeharto dari pembunuhan, represivitas dan sangat terkenal melenyapkan dan memperjarakan para oposisi era orde baru tanpa pengadilan. Sungguh, sangat kejam.


Era Orde Baru Adalah Era Kegelapan Indonesia 

Dari peristiwa tragis seperti pelanggaran HAM berat, kekerasan kemanusiaan, korupsi, kolusi dan nepotisme adalah era kegelapan Indonesia sepanjang republik ini berdiri. 

Para lintas generasi yang mengamati jalannya pemerintahan termasuk kepemimpinan Soeharto mengklaim situasi orde baru adalah era kemunduran demokrasi.

Dimana kebebasan berekspresi dibungkam, para oposisi lenyap lalu dibunuh, lainnya dipenjara tanpa mendapat keadilan.

Demokrasi kala itu berada pada jurang kegelapan selama 32 tahun lamanya. Karya-karya dan pemikiran yang lahir hanya sedikit sebab hegemoni dan dominasi tunggal orde baru mempersempit ruang tersebut.

Pemikir-pemikir besar seperti Pramoedya Ananta Toer, Wiji Tukul dan seterusnya pernah menjadi korban kekejaman Soeharto dengan karya-karya dan kritikannya ia dipenjara. 

Hal lainnya kala itu seperti para tokoh PKI, keluarga hingga simpatisan dilenyapkan hingga di bunuh.

Peristiwa Santa Cruz adalah penanda keras dari represivitas ABRI kala itu.

Para aktivis dan mahasiswa mengalami represivitas berujung pelenyapan dan pembunuhan. 
Karya-karya pemikiran dan sastra tumbuh dan tercipta tidak dengan bahasa yang jujur sebab menghindari bahasa dan kalimat yang mengarah pada rezim orde baru.

Saking mencekam dan saking menakutkan kepemimpinan Soeharto kala itu.

Dan apakah peristiwa di atas cukup baik, lagi-lagi penetapan Soeharto sebagai seorang pahlawan selain sebagai pelajaran mesti menjadi catatan penting yang harus selalu dipertanyakan.

Sebab, ini menyangkut jati diri, kehormatan, kebenaran dan sejarah bangsa kita.

Akhirnya, kita bisa berkata bahwa penetapan Soeharto sebagai pahlawan sungguh sangat miris, menyimpang dan menyalahi makna kepahlawanan yang sebenarnya. 

Kita semua tidak lagi melihat makna dan nilai, benar dan salah, baik dan buruknya.

Tapi, semua ditentukan berdasar standar algoritma dan survei hingga keputusan penguasa yang sarat akan kepentingan dan tidak menimbang nasib generasi muda di masa depan dan nasib rakyat secara umum.

Bagi generasi muda masa kini, hal tersebut adalah penanda bahwa kekuasaan hari ini mencoba untuk melupakan sejarahnya lalu menulis ulang kembali sejarah yang sangat berbeda dengan realitasnya.

Kita tidak sedang menghargai jasa pahlawan kita, tapi sungguh sedang mempermalukan diri kita sendiri.

Dengan penetapan Soeharto sebagai pahlawan juga menjadi penanda bahwa bangsa ini ikut mengukuhkan orde baru, ikut mengukuhkan korupsi, kolusi dan nepotisme dan sangat tentu ikut mencederai dan menghianati reformasi.

Penetapan Soeharto sebagai pahlawan akan jadi jejak dan babak baru bahwa mulai hari ini dan di masa mendatang pelaku kekerasan di negeri ini sama sejajarnya dengan pejuang buruh.

Sama sejajarnya dengan pemikir dan cendekiawan Islam yang berdedikasi tinggi akan kebenaran, kebaikan dan keadilan bersama.

Sebab sekali lagi era kegelapan demokrasi Indonesia terjadi pada masa orde baru.

Bahkan dikutip dalam media asing The Guardian menganggap Soeharto sebagai pemimpin yang paling diktator dan menganggap bahwa penetapannya sebagai Pahlawan adalah wujud pemutihan sejarah yakni menulis ulang sejarah baru yang berbeda dengan realitasnya.

Mengubah makna kepahlawanan

Makna kepahlawanan hari ini dipaksa keluar dari makna aslinya. Pahlawan sebagaimana yang dikenal dengan tujuan mulia telah berubah arti.

Dalam jangka panjang bangsa ini akan mengalami proses sejarah yang tidak sesuai fakta dan realitasnya dan kita dipaksa menerima hal tersebut. 

Kita harus menelan pil pahit kebijakan Presiden Prabowo Subianto ini dalam hal penetapan Soeharto sebagai pahlawan yang dipandang menyimpang.

Pahlawan yang menjadi simbol kebanggaan kita bersama dalam berbangsa dan bernegara sudah kehilangan marwah dan kesaktian serta maknanya.

Sebab, pelaku pelanggaran HAM berat sekalipun, pelaku korupsi dan seterusnya akhirnya menjadi role model bangsa dan negara kita hari ini dan masa mendatang. Sungguh miris.

Akhirnya, untuk kita semua selamat menyambut pahlawan baru. 

Hari ini kita akan memulai membaca sejarah baru yang akan ditulis ulang.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved