Opini
Hapus Roblox dari Gawai Anak: Seruan Kewaspadaan di Tengah Ancaman Dunia Virtual
Roblox bukan sekadar gim. Di balik avatar lucu dan dunia virtual, tersimpan ancaman yang bisa masuk ke kamar anak tanpa mengetuk pintu.
Hapus Roblox dari Gawai Anak
Oleh: Adekamwa
Humas Pusjar SKMP LAN
TRIBUN-TIMUR.COM - “Roblox’s new safety features don’t go far enough. Children can still chat with strangers, and with millions of poorly rated experiences, how can parents moderate?” — Damon De Ionno, Research Director of Revealing Reality.
Apakah gim daring seperti Roblox masih aman dimainkan anak-anak di tengah maraknya konten kekerasan dan penyalahgunaan di dalamnya?
Kekhawatiran itu kian tumbuh seiring derasnya arus konten digital yang sulit disaring.
Sebagian pihak mendorong pelarangan demi melindungi anak, sementara yang lain menilai pendampingan dan literasi digital jauh lebih penting agar anak mampu menavigasi dunia maya dengan bijak.
Pagi itu di Makassar, seorang anak membangun rumah impiannya di Roblox, bukan dengan batu bata, melainkan klik dan imajinasi.
Namun bagi Syamsu Rizal (Deng Ical), anggota Komisi I DPR, dunia virtual itu bukan sekadar permainan.
Ia melihatnya sebagai cermin persoalan yang lebih besar, yaitu lemahnya pengawasan dan tantangan moral generasi digital.
Di sana, anak-anak belajar lebih banyak dari instruksi digital ketimbang dari nasihat orang dewasa.
“Jangan tunggu viral baru bereaksi,” ujarnya, mengingatkan bahwa keterlambatan memahami dunia virtual bisa berarti kehilangan satu generasi dalam kabut algoritma.
Sementara itu, psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto menilai pelarangan semata tidak cukup efektif melindungi anak dari dampak negatif dunia digital.
Ia sudah sejak lama membatasi anak-anaknya bermain Roblox karena paparan bahasa kasar dan interaksi yang tidak pantas.
Kini, dengan meningkatnya penyalahgunaan platform tersebut untuk praktik pornoaksi dan kekerasan seksual, Kasandra menegaskan perlunya pendekatan yang lebih menyeluruh melalui pendampingan orang tua, pembatasan waktu layar, serta penguatan literasi digital; agar anak mampu memilah mana yang sehat dan mana yang berisiko di dunia maya.
Namun di balik seruan larangan itu, ada pertanyaan yang lebih sulit dijawab, apakah cukup dengan melarang untuk membangun kesadaran digital?
Dunia virtual tidak tunduk pada pagar sekolah atau batas wilayah hukum; area itu bergerak dengan logika viral dan mekanisme kecanduan.
Penulis menegaskan, pengawasan digital seharusnya tidak berhenti di pintu pemblokiran, tetapi menembus ruang kesadaran, mendidik anak-anak memahami bukan hanya “apa yang dilarang”, tapi “mengapa mereka perlu waspada”.
Dalam konteks ini, pengawasan bukan lagi sekadar soal regulasi, melainkan upaya membangun benteng moral di tengah lanskap yang tak mengenal batas.
Sebagai orang tua, Penulis tidak pernah membayangkan bahwa permainan yang diklaim aman dan “kreatif” bisa berubah menjadi lorong berbahaya bagi anak-anak.
Namun, data tidak bisa dibantah, sebuah studi dalam Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health (2020) menunjukkan bahwa anak yang bermain game lebih dari tiga jam per hari mengalami penurunan rentang perhatian, melemahnya kemampuan memecahkan masalah, dan menunjukkan pola aktivitas otak menyerupai individu dengan kecanduan zat adiktif.
Roblox, dengan segala warna dan iming-iming imajinasinya, telah menciptakan ruang di mana anak tidak lagi sekadar bermain, mereka sedang dilatih untuk sulit berhenti.
Laporan investigasi Hindenburg Research (2024) memperlihatkan sisi yang lebih mengerikan.
Di balik avatar lucu dan dunia digital yang tampak polos, Roblox menjadi ruang gelap tempat praktek grooming dan perdagangan pornografi anak berlangsung secara terselubung.
Ada grup yang secara terbuka membagikan materi ilegal, ada pula simulasi aktivitas seksual dan kekerasan dapat diakses tanpa batas usia.
Penulis merasakan kegelisahan yang mendalam, karena ancaman ini nyata dan dapat menjangkau kamar anak kita tanpa mengetuk pintu.
Penulis percaya, seruan “hapus Roblox dari gawai anak” bukanlah bentuk kepanikan moral, tetapi tindakan kewaspadaan.
Dunia digital kita wariskan kepada anak-anak tidak netral; area itu menyimpan algoritma mengatur emosi, perhatian, dan bahkan perilaku mereka.
Roblox hanyalah satu contoh dari banyak platform yang melampaui kontrol orang tua dan pengawasan negara.
Maka tanggung jawab Penulis, dan kita semua, bukan hanya mencabut aplikasi itu dari perangkat, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa ruang digital bukan taman bermain tanpa pagar.
Jika kita gagal membangun kesadaran itu sekarang, generasi berikutnya akan tumbuh dalam dunia yang menghapus batas antara permainan dan bahaya.
Kita hidup di era yang cepat maju, tetapi diam-diam menggerus kemanusiaan.
Roblox hanyalah riak awal, jika kita diam, algoritma mengambil alih peran manusia.
Masa depan generasi muda bergantung pada seberapa cepat kita menyalakan cahaya kesadaran sebelum layar memadamkannya.
Karena itu, literasi digital harus menjadi gerakan bersama, menanamkan keyakinan bahwa teknologi diciptakan untuk membantu, bukan menggantikan arah manusia.
Syahdan, biarlah literasi digital menjadi cahaya kesadaran baru yang menjaga manusia tetap memimpin teknologi. (*)
| Mendobrak Tembok Isolasi: Daeng Manye, Perjuangan Tanpa Henti untuk Setiap Jengkal Tanah Takalar |
|
|---|
| Desentralisasi Kehilangan Nafas: Ketika Uang Daerah Mengendap |
|
|---|
| Membedah Proses Kreatif Menulis KH Masrur Makmur |
|
|---|
| Transformasi Unhas, Melawan Kebencian dan Irasional |
|
|---|
| Spirit Resolusi Jihad dan Santri Indonesia: Dari Medan Perang ke Medan Peradaban |
|
|---|

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.