Opini
Saatnya Meninjau Ulang Parliamentary Threshold 4 Persen
Mereka mencoblos bukan sekadar kertas, tapi masa depan yang mereka inginkan. Sayangnya, jutaan suara sah tak pernah sampai ke parlemen
Bahkan, penghapusan total ambang batas dan penggantian dengan sistem kuota elektoral murni di tiap daerah pemilihan bisa menjadi solusi untuk memastikan tidak ada suara sah yang terbuang.
Karena sekali lagi, demokrasi bukan tentang efisiensi semata, melainkan tentang inklusivitas dan keterwakilan.
Partai besar di parlemen sepertinya cenderung mempertahankan atau nampaknya ingin menaikkan ambang batas. Sikap ini bisa dimaklumi secara politis, namun tidak bisa dibenarkan secara etis.
Demokrasi bukan tentang menjaga kenyamanan kekuasaan, melainkan tentang membuka ruang bagi semua suara, termasuk yang kecil dan berbeda.
Ketika sistem hanya menguntungkan mereka yang sudah berkuasa, maka demokrasi berubah menjadi oligarki elektoral.
Jika ambang batas tetap dipertahankan, maka dasar penghitungan perlu dikaji ulang. Formula ambang batas efektif seperti yang dikembangkan oleh Taagepera dapat digunakan untuk memastikan sistem tetap proporsional dan minim suara terbuang.
Rein Taagepera, yang dikenal karena kontribusinya dalam analisis sistem pemilu dan representasi politik merumuskan konsep penting yaitu rumus ambang batas efektif parlemen atau effective threshold, yang digunakan untuk menilai seberapa besar peluang partai kecil bisa masuk ke parlemen dalam suatu sistem pemilu.
Model ini menawarkan pendekatan ilmiah dan matematis untuk menentukan ambang batas parlemen, berbeda dari angka tetap seperti 4 persen yang sering digunakan tanpa dasar empiris.
Rumusnya mempertimbangkan: Jumlah daerah pemilihan (dapil), jumlah kursi di parlemen, dan jumlah kursi yang diperebutkan di tiap dapil (district magnitude).
MK telah menyatakan bahwa ambang batas bersifat konstitusional bersyarat, sepanjang perumusannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan konsisten dengan prinsip pemilu proporsional.
Lebih jauh, perlu ada mekanisme evaluasi berkala terhadap ambang batas, misalnya setiap dua pemilu.
Evaluasi ini harus dilakukan oleh lembaga independen melalui kajian akademik dan konsultasi publik.
Demokrasi harus terus diperbaiki.
Sistem yang tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat harus berani ditinjau ulang, agar tidak menjadi alat seleksi kekuasaan yang hanya menguntungkan segelintir elite.(*)
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.