Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah

Munas IV Hidayatullah di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta akan dibuka langsung Bapak Presiden Prabowo.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Irfan Yahya, sosiolog, aktivis Hidayatullah, akademisi dan peneliti pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas. Dia menulis opini terkait jelang Munas IV Hidayatullah. 

Paradigma SW menyediakan pedoman tersebut: fase tauhid melahirkan orientasi nilai; fase tarbiyah menghasilkan lembaga pendidikan dan spiritual; fase dakwah membentuk struktur komunikasi dan mobilisasi sosial; sedangkan Islam kaffah menegaskan terbentuknya sistem sosial berkeadilan.

Dengan demikian, Paradigma SW menjelaskan bagaimana kesadaran religius dapat bergerak dari ranah ide menuju obyektivasi sosial yang nyata.

 Pendekatan ini juga menghindari dua ekstrem epistemologis: positivisme yang memisahkan fakta dan nilai, serta reduksionisme teologis yang menutup ruang rasionalitas.

Dalam kerangka Berger dan Luckmann, Paradigma SW dapat dipahami sebagai upaya membentuk kembali stock of knowledge masyarakat Muslim agar berpijak pada wahyu.

Internalisasi wahyu melalui dakwah dan tarbiyah menciptakan kesadaran kolektif baru yang menumbuhkan struktur sosial Islami.

Proses ini memperlihatkan bahwa agama bukan entitas statis, tetapi kekuatan sosial yang membentuk pola berpikir dan perilaku masyarakat.

Sejalan dengan Max Scheler (1926), agama berfungsi sebagai sumber makna dan orientasi tindakan sosial—sebuah energi moral yang menstrukturkan kesadaran dan mendorong tindakan kolektif.

Kekuatan utama Paradigma SW adalah kemampuannya memadukan dimensi normatif dan empiris pengetahuan Islam. 

Ia beroperasi dalam empat lapisan epistemik: ontologis (tauhid), epistemologis (fikrah dan akhlak), aksiologis (tarbiyah dan dakwah), serta teleologis (Islam kaffah).

Setiap lapisan memiliki korespondensi sosial: kesadaran individual, komunitas, kelembagaan, hingga peradaban.

Dengan demikian, Paradigma SW bukan sekadar sistem gagasan, tetapi model praksis bagi pembangunan masyarakat yang berakar pada wahyu.

Ia menawarkan peta konseptual bagi integrasi pengetahuan, iman, dan amal—sebuah rekonstruksi epistemologi Islam yang sekaligus menjadi kerangka pembangunan sosial.

Dari perspektif sejarah sosial, Paradigma SW dapat dibaca sebagai aktualisasi manhaj nubuwwah—metode kenabian dalam membangun masyarakat Islam. Ibn Khaldun (1377) dalam Muqaddimah menegaskan bahwa kekuatan spiritual dan solidaritas sosial (asabiyyah) adalah dua pilar utama peradaban.

Paradigma SW menghidupkan sintesis itu dengan menjadikan wahyu sebagai energi spiritual sekaligus rasionalitas sosial.

Melalui pendekatan sistemik dan berbasis wahyu, Paradigma SW menyediakan kerangka untuk membangun masyarakat berilmu dan berkeadilan tanpa memisahkan aspek iman dan institusi. 

Sumber: Tribun Timur
Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved