Opini
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota
hak dasar warga kota, hak atas lingkungan bersih, aman, dan layak belum terpenuhi secara menyeluruh.
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota
Oleh: Yusuf Kasim Bakri
Ketua HMI MPO Cabang Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Belum genap sepekan, Pemerintah Kota Makassar melalui aplikasi Lontara+ merilis data terbaru pengaduan publik. Empat keluhan utama yang disuarakan ialah; sampah (29,9 persen), drainase (16,2 % ) lampu jalan (14,2 % ) dan Fasilitas Umum (5,4 % ).
Sekilas, daftar itu tampak sebagai urusan teknis. Tetapi di baliknya tersimpan pesan yang lebih dalam: bahwa hak dasar warga kota, hak atas lingkungan bersih, aman, dan layak belum terpenuhi secara menyeluruh.
Sampah yang menumpuk, drainase tersumbat, jalanan gelap, serta fasilitas publik yang rusak bukan sekadar tanda kurangnya manajemen kota. Ia mencerminkan krisis nilai dalam tata kelola perkotaan: ketika pembangunan diukur dari proyek, bukan dari martabat manusia.
Sampah dan Hak untuk Hidup Bermartabat
Masalah sampah di Makassar bukan cerita baru, tapi justru makin mengeras. Di sejumlah titik, tumpukan sampah masih terlihat di bahu jalan, di pinggiran pasar, dan di tepi kanal. Mulai dari kawasan Panakkukang, Tamalanrea hingga Biringkanaya. Seperti dilaporkan oleh Tribun Makassar (Agustus 2025), sebagian warga bahkan terpaksa membakar sampah di sekitar rumah karena armada pengangkut terlambat datang berhari-hari.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan sekadar urusan kebersihan, melainkan isu kemanusiaan. Ia menyentuh hak setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang sehat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam konteks ini, Amartya Sen dalam bukunya Development as Freedom menegaskan bahwa pembangunan sejati adalah perluasan kebebasan manusia untuk hidup bermartabat. Jika kebebasan itu dirampas oleh tumpukan sampah dan udara berbau busuk, maka pembangunan kehilangan makna moralnya.
Oleh sebab itu, kebersihan kota seharusnya dibaca sebagai indikator keberadaban, bukan semata proyek. Sampah yang berserakan bukan sekadar masalah visual, tapi simbol tentang bagaimana negara belum sepenuhnya hadir untuk melindungi hak-hak warga kecil.
Drainase dan Keadilan Spasial yang Timpang
Setiap kali hujan turun deras, sebagian wilayah Makassar seolah kembali ke titik nol. Genangan air cepat muncul di kawasan padat, bahkan di jalan-jalan utama. Banjir kecil yang berulang bukan semata soal cuaca, tetapi konsekuensi dari tata kelola ruang yang timpang.
Dalam perspektif hak asasi manusia, ini menyentuh hak atas keselamatan dan perlindungan dari risiko yang dapat dicegah. Ketika warga berulang kali menjadi korban banjir akibat sistem drainase yang gagal, maka sesungguhnya ada hak atas rasa aman yang diabaikan.
Masalah drainase memperlihatkan adanya ketimpangan struktural: siapa yang menanggung beban dari perencanaan yang buruk, dan siapa yang menikmati hasil pembangunan. Keadilan spasial menuntut agar kota tidak hanya membangun kawasan ekonomi elit, tapi juga memastikan bahwa lingkungan rakyat kecil tidak terus-menerus menjadi korban dari proyek yang gagal direncanakan.
Fasilitas Umum, Pejalan Kaki, dan Keadilan yang Kerap Terpinggirkan
Ruang publik seharusnya menjadi simbol kesetaraan. Di taman, trotoar, halte, dan jalur pejalan kaki, setiap warga mestinya memiliki hak yang sama untuk menikmati kota. Namun, kondisi faktual di Makassar jauh dari cita-cita itu.
Trotoar rusak, sempit, dan sering berubah fungsi menjadi tempat parkir atau lapak. Akibatnya, pejalan kaki yang seharusnya menjadi subjek utama ruang kota, justru menjadi korban dari kebijakan yang lebih berpihak pada kendaraan.
Padahal, berjalan kaki adalah salah satu hak paling sederhana warga untuk menikmati kotanya. Tapi di Makassar, berjalan kaki bisa berarti risiko: terantuk, terserempet, bahkan tercebur ke saluran terbuka. Dalam situasi seperti ini, keadilan ruang menjadi barang langka.
Kondisi ini memperlihatkan bahwa pembangunan kota kita cenderung vertikal, bukan horizontal; lebih sibuk membangun gedung daripada membangun rasa aman di trotoar.
Seperti kata Hannah Arendt dalam The Human Condition,
“Kehilangan ruang publik berarti kehilangan dunia bersama.”
Ketika fasilitas umum rusak dan ruang publik tidak ramah, kita sesungguhnya kehilangan dunia bersama itu. Kota kehilangan jiwanya sebagai ruang tempat warga saling menghormati, bertemu, dan membangun solidaritas.
Menuju Kota yang Manusiawi dan Berkeadilan
Makassar tidak kekurangan ide atau inovasi. Yang sering hilang adalah keberanian untuk menempatkan manusia sebagai pusat kebijakan.
Misalnya, kota Gwangju di Korea Selatan bisa menjadi cermin: ia menyebut dirinya Human Rights City karena menjadikan hak atas partisipasi sebagai prinsip dasar perencanaan. Makassar memiliki potensi menuju ke sana, asal berani menempatkan keluhan warga sebagai sumber kebijakan, bukan sekadar data statistik.
Kota yang manusiawi bukanlah kota yang sempurna, tetapi kota yang mau terus memperbaiki diri. Pembangunan yang sejati adalah pembangunan yang membuat manusia lebih merdeka, lebih sehat, dan lebih setara nan berkeadilan.
Karena pada akhirnya, tanggung jawab terbesar sebuah kota bukan membangun monumen dan jembatan raksasa, melainkan membangun keyakinan bahwa setiap warganya berhak untuk hidup dengan martabat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.