Opini
Hak Pilih di Tengah Matinya Hak Hidup
Misalnya di Gowa, Bawaslu telah berupaya mendorong akurasi data hak-hak politik warga sebagai kesiapan pemilu berikutnya.
Oleh: Juanto Avol
TRIBUN-TIMUR.COM- Pemilu dan Pemilihan telah berlalu, melahirkan tokoh pemimpin disetiap konteks, baik nasional dan lokal. Namun, usai kontestasi itu, bukan berarti tak menyisakan masalah.
Di beberapa daerah, faktanya, terjadi laporan atau gugatan ke lembaga-lembega berwenang seperti Bawaslu dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam konteks demokrasi, ketidakpuasan proses politik tentu memberi dorongan kuat atas hasil pemilihan umum.
Misalnya, soal administrasi pencalonan, data perolehan suara, dugaan praktek politik uang dan netralitas ASN, menjadi pokok pemasalahan dasar yang diadukan.
Di level penyelenggara, polemik kepemiluan pun tak luput dari dinamika tersebut.
Keterlibatan oknum dalam proses yang tak sehat, akan menimbulkan cedera demokrasi berkepanjangan, menyintas harapan murni seluruh rakyat dalam pemilu yang sejatinya demokratis.
Gambaran diatas bukanlah sekadar imajiner, tapi sebuah proses pendewasaan tentang hak-hak konstitusional warga yang musti dilalui dengan adil.
Terpilih atau belum, akan tiba masanya semua berhenti pada ruang konstitusi, sosial dan politik.
Dinamika kontestasi tersebut, tentu rakyat tak butuh keriuhan berkepanjangan, larut dalam kesedihan atau euforia kemenangan. Karena, pada akhirnya suara-suara demokrasi itu akan kembali pada fakta-fakta kehidupan sosialnya.
Misalnya, warga tani bakal rindu pada cangkulnya, buruh harian tetap aktif pada rutinitas kerjanya, pedagang kembali berjibaku dengan targetnya, tukang becak kembali mengayuh di jalan hidup yang terjal, supir terjaga dengan setir melaju ribuan kilo, pengangguran semakin khusyu dalam do'a dibukakan lapangan kerja.
Semua itu, cita rakyat penuh harap bisa diwujudkan setelah pemilihan. Sebab mereka telah meletakkan kepercayaannya melalui garis tangan aktor-aktor politik, sebagai seorang pemimpin berkualitas yang kelak berorientasi pada kepentingan rakyat, melahirkan kebijakan-kebijakan positif; kesejahteraan, kesehatan, pendidikan, fasilitas lapangan kerja dan perlakuan rasa adil.
Meninggal
Dalam konteks kehidupan sosial, semua orang memiliki perlakuan hak yang sama. Kebebasan berpikir, berpendapat, dan menentukan pilihan-pilihan politiknya.
Di Sulawesi Selatan, salah satu polemik berkepanjangan adalah soal akurasi data sosial politik dan kepemiluan. Berbagai wilayah kabupaten dan kota didapati hal itu.
Misalnya di Gowa, Bawaslu telah berupaya mendorong akurasi data hak-hak politik warga sebagai kesiapan pemilu berikutnya. Bawaslu telah melakukan serangkaian Uji Petik. Berdasarkan Surat Edaran Bawaslu RI No. 29, sebagai langkah-langkah pengawasan dini dalam melakukan pencegahan potensi masalah.
Beberapa titik wilayah kecamatan dan desa, Kabupaten Gowa, didapati dalam triwulan ketiga Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB), ada sekitar 316 warga telah meninggal dunia.
Sampel itu membuktikan, bahwa data pemilih berkelanjutan atau PDPB yang telah ditetapkan KPU, mustinya bukanlah data pasti (tetap) yang tak bisa lagi diubah.
Justeru idealnya data itu mengalami perubahan terus menerus. Jika dikorelasikan dengan pemilih pemula yang terus bertambah, maka catatan Uji Petik Bawaslu data meninggal itu, juga musti dikeluarkan dari jumlah data PDPB 587.155.
Artinya, dalam konteks pengawasan, secara "De Facto" bisa dipastikan 316 warga telah meninggal dunia, sebaiknya terakomodir untuk dibersihkan dari data PDPB.
Namun bagi KPU, dalam ketentuan adminstrasi (De Jure) kependudukan, tidak segampang itu mencabut data hak kependudukan seseorang.
Mungkin, malaikat bolehlah mudah mencabut nyawa seseorang, namun KPU tak semudah itu menghilangkan hak pilih warga yang telah meninggal. Dibutuhkan prosedur, akte kematian dari lurah atau kepala desa atas permintaan keluarga almarhum
Disisi lain muncul tantangan sosial, ketimpangan ekonomi menjadi salah satu alasan enggannya warga melaporkan dan mendaftarkan keluarganya telah meninggal.
Ini berkorelasi dengan kepentingan tertentu. Misalnya data penerima manfaat bantuan sosial, atau signifikansi jumlah dana desa berdasarkan kependudukan dan luas wilayah.
Intinya, bagi KPU, data hak pilih akan dihapus jika syarat administrasinya terpenuhi.
Dan dalam pandangan Bawaslu, semua mitra stake holder diperlukan kesadaran kolektif membantu penyelenggara teknis (KPU) merapikan akurasi datanya. Seperti Dinas Sosial, musti terbuka memberikan paparan data penerima manfaat. Jika telah meninggal, musti melakukan kordinasi yang benar di tingkat desa.
Potensi Masalah
Terlepas dari perdebatan nalar panjang posisi De Facto dan De Jure, mari kita pahami dengan bijak.
Bahwa keduanya bukanlah hal yang salah atau keliru, karena masing-masing memiliki prinsip dasar Undang-undang Pemilu. Namun diharap pihak-pihak terkait musti bijak mengambil sikap tegas dan terang.
Bahwa apa yang menjadi temuan Bawaslu adalah bukti lapangan, seseorang benar-benar telah meninggal. Walau dalam pandangan KPU, hak pilih seseorang itu tetap hidup, tercatat, dan masuk sebagai pemilih aktif jika tak ada pembuktian De Jure (akte kematian) yang menyatakan seseorang telah berpulang ke rahmatullah.
Timbul tanya sederhana di benak kita, kewenangan siapakah yang mengeluarkan akte kematian? Atas dasar apakah administrasi itu dikeluarkan? Lalu kepentingan apakah yang menyilaukan niat?
Tentu, perangkat pemerintah di level desa dan kelurahan yang melakukan cap kematian itu, dan atas dasar permohonan pihak keluargalah yang mengajukan.
Namun, alih-alih ingin mendapatkan akte kematian, muncul sebuah konstruk berpikir yang berdalih menyilaukan hati, bahwa pihak keluarga enggan mengajukan permohonan akte kematian, disebabkan takutnya mereka tak lagi mendapatkan bantuan sosial.
Inilah yang selalu menjadi polemik akurasi data di tingkat lokal sulit tersinkroniasi dengan tepat.
Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan semua pihak (stakeholder), dinas kependudukan catatan sipil, dinas sosial dan kesehatan, pemerintah desa, kelurahan, untuk terus aktif memediasi, memikirkan, mencerdaskan kesadaran warga. Dan mendorong kebijakan solutif bagi keluarga penerima Bansos, agar tetap diakomodir walau nama penerima manfaat telah meninggal dunia.
Sebab, jika cara tegas demikian tak berani diambil sebagai langkah solutif dalam kebijakan, maka salah satu potensi terbesar dikemudian hari, data meninggal itu akan tetap hidup, tercatat sebagai pemilih aktif yang bisa disalahgunakan oleh pihak tak bertanggungjawab sebagai pemilih atas nama orang lain.
Olehnya, kita berharap pemilu mendatang, semua menerima kematian seseorang sebagai takdir ilahi, hak pilihnya telah tiada, namun rezeki keluarganya diperjuangkan agar tetap menerima manfaat bantuan sosial. Dan jangan lagi ada pemilih "bangkit dari kubur" menuju TPS.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.