Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Anak-anak Keracunan, Netizen Geram: Benarkah Makan Bergizi Gratis yang Salah?

Kita perlu menelaah persoalan ini dengan kepala dingin, bukan semata mengikuti arus komentar warganet.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Kolase foto Bansuhari Said, ASN Pemkab Takalar. Dia menulis opini tentang tata kelola Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Bansuhari Said

ASN Pemkab Takalar

 

OPINI ini memuat pandangan akademisi gizi masyarakat, pakar kebijakan publik pangan, dan pakar hukum kesehatan, serta merujuk pada PP 86/2019 tentang Keamanan Pangan, PP 66/2014 tentang Kesehatan Lingkungan, dan pedoman BPOM/Kemenkes.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan tujuan mulia: memastikan anak sekolah Indonesia mendapat asupan gizi yang layak agar tumbuh sehat, cerdas, dan tidak terkendala oleh kemiskinan.

Data Bank Dunia dan WFP menunjukkan, investasi di program makan sekolah mampu meningkatkan kehadiran, konsentrasi belajar, dan menurunkan angka stunting jika dikelola dengan standar gizi dan keamanan pangan yang ketat.

Namun idealisme itu kini menghadapi ujian berat.

Maraknya kasus keracunan massal yang menimpa ratusan hingga ribuan siswa di sejumlah daerah membuat publik meragukan kredibilitas program.

Celoteh netizen pun ramai: “Lebih baik anggarannya diberikan saja langsung kepada orang tua siswa.”

Sebagian kepala daerah bahkan mulai menahan pelaksanaan MBG karena khawatir pada risiko kesehatan dan tekanan opini publik.

Kita perlu menelaah persoalan ini dengan kepala dingin, bukan semata mengikuti arus komentar warganet.

Program yang Benar, Pelaksanaan yang Keliru

Secara konsep, MBG tidak salah.

Pengalaman global — mulai dari “National School Lunch Program” di AS, “Midday Meal Scheme” di India, hingga “Home Grown School Feeding” di Ghana — membuktikan bahwa makan sekolah terstandar dapat menurunkan angka kelaparan anak, meningkatkan nilai ujian, bahkan menggerakkan ekonomi lokal melalui kemitraan dengan petani.

Guru Besar Gizi Masyarakat FKM UI, Prof dr Ahmad Syafiq MSc PhD menegaskan, “Banyak bukti bahwa program makan sekolah yang dikelola dengan benar dapat menurunkan stunting dan meningkatkan prestasi belajar. Masalahnya bukan pada konsep, tetapi pada sistem pengadaan, pengawasan rantai pasok, dan kualitas penyedia.”

Insiden keracunan massal menunjukkan rantai pengadaan dan distribusi pangan yang tidak aman: dapur tidak memenuhi syarat higienis, pendingin (cold chain) tidak tersedia, bahan tidak terlacak, dan pengawasan laboratorium minim.

Suara Netizen: Transfer Tunai ke Orang Tua

Gagasan menyerahkan anggaran MBG langsung ke orang tua siswa terdengar pragmatis, mengurangi birokrasi, menghindari kasus korupsi, dan memberi kebebasan bagi keluarga. Namun ini tidak serta-merta menjadi solusi:

1. Tidak menyelesaikan masalah keamanan pangan di sekolah.

Anak tetap butuh makan di jam sekolah; siapa yang menjamin makanan yang mereka bawa aman, higienis, dan bergizi seimbang?

2. Menambah kesenjangan kualitas.

Keluarga dengan literasi gizi rendah mungkin memilih makanan murah, tinggi kalori namun miskin zat gizi.

3. Hilangnya skala ekonomi.

Pengadaan massal memungkinkan penyusunan menu seimbang dengan harga lebih efisien dibanding belanja eceran per rumah tangga.

4. Kontrol sulit dilakukan.

Transfer tunai rentan dialihkan untuk keperluan lain. 

Ahli Kebijakan Publik Pangan dari IPB University, Dr Diah Ayu Puspitasari berpendapat, “Model cash transfer memang meningkatkan fleksibilitas keluarga, tetapi kehilangan kendali terhadap standar gizi dan keamanan pangan. Jika ingin efisien dan aman, voucher berbasis gizi atau paket pangan dari penyedia terverifikasi lebih tepat.”

Landasan Hukum Sudah Ada, Tinggal Ditegakkan

Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum yang cukup kuat.

PP Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan menegaskan kewajiban setiap pelaku usaha pangan menjamin keamanan dari produksi hingga distribusi.

PP Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan mengatur standar higiene sanitasi termasuk untuk dapur dan kantin sekolah.

Peraturan BPOM dan Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan panduan Jajanan Aman Anak Sekolah dan pedoman higiene sanitasi makanan.

Pakar Hukum Kesehatan dari Unair, H Budi Santoso SH MH menyebut, “Regulasi kita sebenarnya cukup lengkap. Yang lemah adalah implementasi: inspeksi tidak rutin, sanksi administratif tidak ditegakkan, dan sering kali kontrak pengadaan tidak mencantumkan kewajiban sertifikasi HACCP.”

Kajian Akademisi: Gizi Baik Harus Disertai Jaminan Keamanan

Menurut penelitian Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (2024), keberhasilan program makan sekolah ditentukan oleh tiga hal: standar menu berbasis gizi, keamanan rantai pasok, dan kapasitas pengawasan daerah. Tanpa tiga hal itu, manfaat gizi tidak akan tercapai bahkan berbalik menjadi ancaman kesehatan publik.

WHO (2022) menegaskan, anak-anak lebih rentan terhadap penyakit bawaan pangan sehingga pengendalian harus ekstra ketat: mulai dari sumber bahan baku, transportasi berpendingin, hingga kebersihan alat saji.

Rekomendasi Perbaikan: Hentikan yang Tidak Aman, Perkuat yang Layak

Daripada membuang bayi bersama air mandinya, pemerintah sebaiknya mengambil langkah berikut:

1. Audit dan moratorium selektif.

Hentikan sementara dapur atau penyedia yang tidak memenuhi syarat higiene sampai dinyatakan lulus perbaikan.

2. Sertifikasi HACCP wajib.

Jadikan sertifikat keamanan pangan sebagai prasyarat kontrak penyedia.

3. Unit pengawasan terpadu.

Bentuk tim lintas instansi (Kemenkes, BPOM, Dinas Pendidikan, dan Pemda) untuk inspeksi mendadak dan pengujian sampel makanan.

4. Transparansi data.

Publikasikan hasil audit dan uji laboratorium agar publik tahu langkah perbaikan yang diambil.

5. Opsi voucher gizi.

Bagi daerah yang kesulitan logistik, berikan voucher pangan yang hanya bisa ditukar di penyedia yang terverifikasi.

6. Investasi SDM dan infrastruktur.

Latih juru masak, sediakan transportasi berpendingin, dan perbaiki dapur sekolah. 

Prof.Syafiq menambahkan, “Investasi untuk dapur sekolah dan pelatihan juru masak memang mahal di awal, tetapi jauh lebih murah dibanding biaya kesehatan akibat keracunan dan gizi buruk.”

Kesimpulan: Jangan Hapus, tapi Perbaiki dengan Standar Tinggi

Menolak MBG berarti membiarkan jutaan anak kehilangan kesempatan mendapatkan asupan gizi yang lebih baik di sekolah.

Namun menutup mata pada persoalan keamanan pangan sama saja mengorbankan kesehatan mereka.

Pilihan rasional bukanlah menghentikan atau menyerahkan uang tunai begitu saja, tetapi mendisiplinkan pelaksana dengan standar profesional.

Dengan tata kelola yang benar, MBG bisa menjadi investasi sosial-ekonomi jangka panjang, memperkuat SDM Indonesia sejak dini.

Program ini ibarat jembatan menuju masa depan anak-anak. Jika tiangnya rapuh, jangan dibakar habis, perkuatlah pondasinya.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved