Opini
Pajak Tersembunyi Menguras Negara
Sebab, alih-alih masuk ke kas negara, uang publik bocor ke kantong pribadi pejabat, politisi, atau jaringan mafia birokrasi.
Penulis: Fahrul Bagenda, Sekretaris Jenderal Forum Strategis Pembangunan Sosial (Fores)
TRIBUN-TIMUR.COM - KORUPSI sering disebut sebagai “pajak tersembunyi” yang paling memberatkan rakyat.
Sebab, alih-alih masuk ke kas negara, uang publik bocor ke kantong pribadi pejabat, politisi, atau jaringan mafia birokrasi.
Bagi masyarakat, dampaknya sama saja seperti pajak baru, harga barang publik menjadi lebih mahal, layanan publik memburuk, dan pada akhirnya menambah beban fiskal negara yang harus ditutup dengan utang.
Menurut laporan Kejaksaan Agung, kerugian negara akibat dugaan tindak pidana korupsi pada 2024 saja mencapai Rp310,61 triliun.
Angka ini hampir setara dengan 20 persen total belanja Kementerian PUPR tahun itu.
Jika dirinci, artinya hampir Rp850 miliar uang publik hilang setiap hari akibat praktik korupsi.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) juga mengungkap bahwa kasus korupsi yang ditangani sepanjang 2023 menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 31,02 triliun dengan nilai suap mencapai Rp 1,3 triliun.
Perbedaan angka antara KPK, ICW, dan Kejagung menunjukkan bahwa skala kebocoran fiskal sangat luas dan bergantung pada metode perhitungan.
Namun, semua sepakat bahwa korupsi telah menggerus kapasitas negara membayar kewajibannya.
Korupsi sebagai Distorsi Ekonomi
Ekonom menyebut korupsi sebagai bentuk rent-seeking behavior, yaitu upaya memperoleh keuntungan tanpa menciptakan nilai tambah.
Dalam teori fiskal, korupsi berfungsi layaknya pajak tambahan yang tidak transparan.
Misalnya, ketika kontraktor harus menyetor 20?ri nilai proyek untuk “fee” pejabat, biaya pembangunan otomatis membengkak, padahal output publik yang diterima masyarakat tetap sama.
World Bank pernah memperkirakan bahwa negara dengan tingkat korupsi tinggi dapat kehilangan pertumbuhan ekonomi sebesar 2–3 % per tahun.
Jika diasumsikan PDB Indonesia 2024 sekitar Rp 20.000 triliun, maka kerugian pertumbuhan akibat korupsi bisa mencapai Rp 400–600 triliun setiap tahun.
Ini setara dengan lebih dari separuh penerimaan pajak PPN dalam setahun.
Korupsi juga menurunkan kepercayaan investor.
Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2024 dengan skor 34/100.
Skor ini stagnan dibandingkan tahun sebelumnya dan menandakan tingginya risiko hukum dan birokrasi bagi investasi.
Investor yang enggan masuk ke Indonesia berarti devisa berkurang, sementara kebutuhan utang untuk menutup defisit semakin besar.
Kasus Nyata: Dari Jiwasraya ke Timah
Kasus korupsi besar yang mencuat dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa sistematisnya praktik “pajak tersembunyi” ini.
Kasus Jiwasraya (2018–2020): skandal investasi bodong BUMN asuransi ini menyebabkan kerugian negara lebih dari Rp 16,8 triliun.
Dana yang seharusnya menjamin masa pensiun jutaan nasabah hilang, dan pemerintah akhirnya harus menyuntikkan dana talangan untuk menyelamatkan sistem.
Ujungnya, beban fiskal bertambah.
Kasus Asabri (2019–2021): mirip dengan Jiwasraya, kasus ini menimbulkan kerugian negara sekitar Rp 22,78 triliun.
Lagi-lagi, uang prajurit dan pensiunan TNI/Polri ikut raib.
Kasus Timah (2015–2022): Kejaksaan Agung mengungkap dugaan kerugian negara mencapai Rp 300 triliun akibat praktik tata niaga ilegal di PT Timah Tbk.
Angka ini mencatatkan rekor baru, bahkan melampaui kasus BLBI di era 2000-an.
Jika ketiga kasus besar ini dijumlahkan, potensi kerugian mencapai lebih dari Rp 339 triliun setara dengan hampir setengah total anggaran kesehatan nasional.
Simulasi: Korupsi vs Pembayaran Utang
Mari kita lakukan simulasi sederhana.
Pemerintah mencatat kewajiban bunga utang sekitar Rp 441,4 triliun pada APBN 2025.
Jika kebocoran akibat korupsi sebesar Rp 310 triliun dapat ditekan 50 % , maka sekitar Rp 155 triliun dapat diselamatkan.
Angka ini cukup untuk menutup 35 % pembayaran bunga utang.
Artinya, korupsi bukan sekadar isu moral, melainkan langsung berhubungan dengan kesehatan fiskal negara.
Dengan kata lain, memberantas korupsi sama efektifnya dengan meningkatkan penerimaan pajak tanpa perlu memungut rupiah tambahan dari rakyat.
Hambatan Pemberantasan Korupsi
Meski potensi penghematan besar, jalan untuk menekan korupsi penuh tantangan.
Beberapa hambatan utama antara lain:
1. Resistensi Politik: Korupsi sering melibatkan elite politik dan birokrasi yang memiliki kekuatan besar. Reformasi hukum sering mandek karena “tersandera” kepentingan kelompok.
2. Institusi Lemah: KPK, Polri, dan Kejaksaan sering dikritik karena independensinya tergerus, terutama setelah revisi UU KPK 2019.
3. Birokrasi Gemuk: Semakin panjang rantai birokrasi, semakin banyak titik rawan pungli dan manipulasi anggaran.
4. Budaya Patronase: Dalam banyak kasus, korupsi bukan sekadar penyimpangan individu, melainkan bagian dari sistem patronase politik-di mana biaya politik tinggi ditutup dari rente anggaran negara.
Untuk menjadikan pemberantasan korupsi sebagai strategi pelunasan utang, pemerintah perlu langkah konkret:
-Digitalisasi Anggaran: Semua transaksi pemerintah harus berbasis digital, real-time, dan dapat diaudit publik. E-procurement dan e-budgeting terbukti mengurangi peluang manipulasi.
-Perkuat Lembaga Pengawas: Independensi KPK harus dikembalikan, termasuk kewenangan penyadapan dan supervisi kasus besar.
-Penerapan Beneficial Ownership Registry: Semua aset perusahaan dan kontrak pemerintah harus transparan untuk mencegah pencucian uang dan penggunaan nominee.
-Kolaborasi Internasional: Indonesia perlu aktif dalam kerja sama global antikorupsi, termasuk dengan negara suaka pajak tempat dana hasil korupsi disembunyikan.
-Reformasi Pendanaan Politik: Biaya kampanye yang transparan dan didanai negara dapat menekan ketergantungan politisi pada donasi rente.
Korupsi bukan hanya masalah moral atau hukum, melainkan akar kebocoran fiskal terbesar.
Jika dianggap sebagai pajak tersembunyi, korupsi lebih membebani daripada PPN, PPh, atau cukai sekalipun.
Dengan kerugian ratusan triliun per tahun, korupsi berkontribusi langsung pada meningkatnya kebutuhan utang negara.
Pemberantasan korupsi, jika dilakukan serius, bukan sekadar meningkatkan citra hukum, tetapi juga dapat menjadi strategi riil untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri.
Mengembalikan Rp 150-200 triliun per tahun ke kas negara bisa mengubah arah kebijakan fiskal Indonesia menuju lebih mandiri dan berdaulat. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.