Opini
Roblox: Gaduh di Tanah Air
Ia disusun dari serpihan peristiwa, dipoles oleh narasi kekuasaan, lalu dipertontonkan seolah kebenaran.
Tan Malaka pernah menulis dalam Madilog: “Hanya aksi massa yang dapat mengubah roda sejarah.” Tetapi ke arah manakah roda itu digerakkan?
Massa turun ke jalan, namun yang mereka terima hanyalah stigma: perusuh, pengganggu, ancaman. Sementara kriminalisasi dan pelanggaran HAM dinormalisasi, dilapisi jargon “stabilitas nasional” yang retoris, padahal nihil substansi.
Di titik ini, pertanyaan menjadi tak terelakkan. Untuk apa delapan puluh tahun merdeka, bila negara justru menormalisasi pelanggaran HAM? Untuk apa slogan “Indonesia Emas 2045” didengungkan, bila di jalan-jalan masih terdengar jerit mahasiswa dipukul, fasum dibakar, dan kegaduhan ditunggangi oleh kelompok berkepentingan?
Sejarah telah memberi kita pelajaran pahit. Dari DPR yang membisu 1966 memantik gelombang mahasiswa.
Jalanan 1998 meruntuhkan rezim yang dianggap abadi. Kini, gedung DPR kembali terbaka. Bukan hanya fisiknya, tetapi juga nurani yang terkubur bersama legitimasi rakyat. Dan api itu, sekali lagi, merenggut nyawa.
Namun bangsa ini tidak boleh terus-menerus dikurung dalam siklus gaduh. Reaksi bukan solusi. Kita membutuhkan rekonstruksi dengan akal sehat, bukan senjata.
Nasionalisme yang cerdas, bukan yang gaduh. Negara yang hadir sebagai pelindung, bukan algojo.
Di sinilah tugas organ mahasiswa, komunitas sipil, dan lembaga pendidikan. Mereka mesti melampaui romantisme jalanan.
Kritik tetap penting, tetapi harus dilengkapi riset, karya, dan kebijakan alternatif. SDM yang tangguh adalah satu-satunya benteng bangsa dalam dunia global yang kian cair.
Nasionalisme hari ini bukan lagi sekadar menyanyikan lagu perjuangan, tetapi merumuskan solusi, teknologi, dan ide yang menyejahterakan rakyat.
Refleksi ini hanya dapat bermuara pada dogma solutif:
* Pemerintah wajib berpihak pada rakyat, bukan oligarki.
* Reformasi Polri dan DPR adalah urgensi historis, bukan jargon. Aparat harus kembali ke khitah: melindungi, bukan menindas. DPR harus kembali menjadi lidah rakyat, bukan corong kuasa.
* Organisasi mahasiswa dan masyarakat sipil harus menjelma laboratorium gagasan. Tidak cukup jadi pengeras suara, mereka mesti jadi pencerah bangsa.
* Trust antara negara dan rakyat harus dipulihkan, sebab tanpa itu, “Indonesia Emas” hanya akan jadi dongeng korporatis yang usang.
Pada akhirnya, gaduh bukanlah takdir bangsa, melainkan pilihan elite yang gagal mengelola perbedaan.
Pramoedya Ananta Toer pernah mengingatkan: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.”
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.