Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Headline Tribun Timur

Presiden Anulir SK Gubernur Sulsel

Pemberian rehabilitasi itu sekaligus menganulir Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman (42).

Editor: Sudirman
Ist
HEADLINE TRIBUN TIMUR - Presiden Prabowo membatalkan pemecatan dua guru di Luwu Utara. Pembatalan pemecatan itu juga memastikan menganulir SK Andi Sudirman Sulaiman. 
Ringkasan Berita:
  • Presiden Prabowo Subianto (74) memberikan rehabilitasi hukum kepada dua guru SMAN 1 Luwu Utara, Abdul Muis (59) dan Rasnal (57) pada Kamis (13/11/2025). 
  • Langkah ini sekaligus menganulir SK pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) yang diterbitkan Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman, yakni SK Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tertanggal 14 Oktober 2025.
  • Rehabilitasi diberikan setelah kedua guru tersebut bertemu langsung dengan Presiden Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada dini hari. 
 

TRIBUN-TIMUR.COM - Presiden Prabowo Subianto (74) memberikan rehabilitasi hukum kepada Abdul Muis (59) dan Rasnal (57), guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Kamis (13/11/2025).

Pemberian rehabilitasi itu sekaligus menganulir Surat Keputusan (SK) Gubernur Sulawesi Selatan Andi Sudirman Sulaiman (42).

Dewan Pendidikan Sulsel mendesak pemerintah daerah segera memperbaiki sistem penggajian guru honorer agar lebih adil dan transparan.

Muis dan Rasnal batal dipecat setelah bertemu Presiden Prabowo di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Kamis (13/11/2025) dini hari.

Hadir dalam pertemuan itu, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Mensesneg Prasetyo Hadi.

Baca juga: 1 Tahun 3 Bulan Gaji Rasnal dan Abdul Muis Ditahan Imbas Pemecatan, Pemprov Sulsel Janji Cairkan

Hadir juga Ketua Komisi E DPRD Sulsel Andi Tenri Indah, Anggota DPRD Sulsel Marjono, Ketua PGRI Luwu Utara Ismaruddin, Ketua Komite Muhammad Sufri, dan Kepala SMAN 1 Luwu Utara.

Presiden Prabowo menandatangani surat rehabilitasi yang memulihkan harkat dan martabat dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Abdul Muis dan Rasnal.

Keputusan ini, sekaligus membatalkan Surat Keputusan Nomor 800.1.6.4/4771/BKD tertanggal 14 Oktober 2025, tentang pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH), yang diteken Gubernur Sulsel.

Muis mengisahkan, awalnya ia bersama PGRI Luwu Utara berencana mengadukan nasib mereka ke DPRD Sulsel.

Namun, sebelum tiba di Makassar, ia menerima telepon dari seseorang mengaku staf Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad.

“Saat kami di Palopo mau ke Makassar untuk RDP, saya ditelepon staf Pak Dasco. Dia bilang, kami dipanggil ke Jakarta,” ujar Muis, Kamis (13/11/2025).

Pihak tersebut juga menjanjikan akan menanggung seluruh biaya perjalanan dan akomodasi mereka.

Setelah menyerahkan identitas pribadi bersama Ketua PGRI Luwu Utara, Kepala SMAN 1 Luwu Utara, dan Ketua Komite Sekolah, rombongan pun diterbangkan ke Jakarta.

“Tiba di Jakarta, kami dibawa ke salah satu hotel, lalu ke Bandara Halim untuk bertemu Pak Presiden yang baru kembali dari Australia,” ujarnya.

Dalam pertemuan itu, Presiden Prabowo menandatangani surat rehabilitasi, membatalkan keputusan PTDH dan memulihkan status ASN keduanya.

“Setelah menandatangani surat itu, Pak Presiden menyemangati kami. Kami sangat berterima kasih. Sampai sekarang saya masih tidak percaya bisa bertemu langsung dengan beliau,” kata Muis penuh haru.

Sementara Ketua Komisi E DPRD Sulsel Andi Tenri Indah kembali ke Makassar menindaklanjuti proses administratif pemulihan status ASN kedua guru tersebut.

Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Prof Arismunandar, menilai kasus menimpa dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara, Rasnal dan Abdul Muis, harus jadi momentum bagi pemerintah untuk memperjelas aturan terkait nasib guru honorer.

Menurutnya, peristiwa tersebut mengungkap lemahnya tata kelola terhadap guru non-ASN, baik dari sisi mekanisme rekrutmen maupun sistem penggajian yang hingga kini belum memiliki regulasi yang tegas.

“Memang perlu dibuat sistem tata kelola guru, khususnya bagi guru non-ASN, terkait mekanisme rekrutmen dan penggajiannya yang belum jelas,” ujar Prof Arismunandar, Kamis (13/11/2025).

Ia mengapresiasi langkah pemerintah pusat yang telah memulihkan status dan kehormatan kedua guru tersebut melalui surat rehabilitasi.

“Memang hanya Presiden Prabowo yang bisa membantu dua guru itu. Saya setuju jika grasi atau rehabilitasi diberikan, apalagi putusan pengadilan sudah berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Jangan Bodoh

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, Hasrullah menilai keputusan Presiden merehabilitasi dua guru SMA Negeri 1 Luwu Utara langkah tepat dan cepat.

Menurutnya, keputusan tersebut menunjukkan kemampuan Presiden membaca dinamika opini publik di era digital, di mana persepsi masyarakat terbentuk melalui algoritma, filter bubble, dan echo chamber.

“Presiden Prabowo menunjukkan kepekaan luar biasa terhadap dinamika opini publik yang kini sangat cepat berkembang di ruang digital,” ujar Hasrullah, Kamis (13/11/2025).

Ia menjelaskan, algoritma berperan mempercepat penyebaran pesan, sementara filter bubble membuat seseorang hanya menerima informasi yang sejalan dengan pandangannya.

Adapun echo chamber memperkuat opini yang sama dalam satu kelompok.

Menurut Hasrullah, fenomena ini terlihat jelas dalam kasus Abdul Muis dan Rasnal—dua guru yang sebelumnya dipecat karena membantu 10 guru honorer yang belum menerima gaji selama sepuluh bulan.

Isu ini menjadi viral dan mendapat simpati luas dari masyarakat, hingga akhirnya menarik perhatian Presiden.

“Kasus dua guru Lutra ini contoh nyata bagaimana opini publik bisa viral dan menekan pemerintah daerah. Tekanan itu akhirnya memengaruhi keputusan Presiden Prabowo untuk merehabilitasi nama baik keduanya,” jelasnya.

Hasrullah menilai, kecepatan Presiden merespons kasus tersebut mencerminkan kecerdasan politik dan kepekaan sosial dalam menghadapi realitas demokrasi digital.

Ia juga mengingatkan, kasus ini menjadi peringatan bagi para pemimpin daerah, khususnya Pemprov Sulsel agar lebih bijak dan peka terhadap aspirasi masyarakat—terutama dari kalangan guru.

“Penting bagi penentu kebijakan untuk mendengarkan aspirasi publik, apalagi yang menyangkut nasib guru. Sebelum memberi sanksi, harus diteliti lebih dulu: apakah benar ada pelanggaran, dan apakah dana yang digunakan memang untuk kepentingan bersama,” tegasnya.

Ia menambahkan, pemimpin di era digital harus memahami dampak besar media sosial dalam membentuk opini publik.

“Sudah bermedia sosial, tapi tidak memahami efek domino dari penyebaran informasi itu berbahaya. Kritik masyarakat harus ditanggapi dengan hati-hati dan cerdas,” ujarnya.

Hasrullah menutup dengan menegaskan bahwa keputusan cepat Presiden Prabowo merehabilitasi dua guru Lutra merupakan langkah tepat, cerdas, dan menyelamatkan nama baik pemerintah daerah.

“Jika tidak, dampaknya bisa merusak citra pemerintah, khususnya yang memecat guru tersebut. Jadi, jangan bodoh menghadapi kekuatan media sosial,” katanya.

Awal Kasus

Kisahnya bermula pada 2018, ketika Muis ditunjuk sebagai bendahara komite sekolah berdasarkan hasil rapat bersama pengurus komite dan orang tua siswa.

“Saya didaulat jadi bendahara komite melalui rapat. Jadi posisi saya hanya menjalankan amanah,” kata Muis.

Dalam rapat itu, para orang tua siswa sepakat memberikan sumbangan sukarela sebesar Rp20.000 per bulan untuk membantu guru honorer yang tidak terdaftar di Dapodik dan tidak bisa menerima dana BOS.

“Yang tidak mampu tidak diminta membayar. Bahkan yang punya anak lebih dari satu, cukup bayar satu saja,” jelasnya.

Dana tersebut digunakan untuk kegiatan sekolah serta memberikan tunjangan kecil bagi guru dengan tugas tambahan, seperti wali kelas dan pengelola laboratorium.

Masalah mulai muncul awal 2021, ketika seorang pemuda mengaku dari LSM datang ke rumahnya dan menanyakan soal dana komite.

“Dia minta memeriksa buku keuangan. Karena saya enggan memperlihatkan, dia mengancam akan melapor ke polisi,” kata Muis.

Tak lama kemudian, ia dipanggil polisi dan dituduh melakukan pungutan liar serta pemaksaan terhadap siswa.

Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis satu tahun penjara dan denda Rp50 juta, subsider tiga bulan kurungan.

Muis menjalani masa hukuman selama enam bulan 29 hari di Rutan Masamba.

Meski menerima putusan hukum, ia menilai kasus tersebut lahir dari kesalahpahaman.

“Kalau itu disebut pungli, berarti memalak secara sepihak. Padahal semua keputusan terbuka dan disepakati lewat rapat,” tegasnya.

Menurutnya, banyak siswa yang tidak membayar sumbangan tetapi tetap diperbolehkan ikut ujian.

“Kalau dipaksa, mestinya semua siswa harus lunas. Tapi faktanya tidak begitu,” ujarnya.

Guru Honorer

Muis mengaku hanya menerima tunjangan transportasi Rp125.000 per bulan serta tambahan Rp200.000 sebagai wakil kepala sekolah.

Namun, uang itu sebagian besar ia gunakan membantu guru honorer.

“Banyak guru honor di sekolah kami hanya dapat Rp300 ribu sebulan. Ada yang tidak hadir karena tidak punya uang bensin. Saya sering bantu mereka,” katanya mengenang.

Bagi Muis, niatnya sederhana: membantu rekan sejawat agar proses belajar tetap berjalan. Namun justru niat itu berujung pada status PTDH menjelang masa pensiun.

“Sedih sekali. Saya tinggal menunggu delapan bulan lagi. Tapi ternyata harus berakhir seperti ini,” ujarnya lirih.

Kasus Muis mengundang simpati dari banyak kalangan pendidik.

PGRI Luwu Utara bahkan menggelar aksi solidaritas di depan DPRD Luwu Utara, Selasa (4/11) untuk menuntut keadilan bagi dirinya dan Rasnal, guru SMAN 3 Luwu Utara yang mengalami nasib serupa.

“Guru hari ini berada di posisi rentan. Tanpa perlindungan hukum yang jelas, kebijakan sekolah bisa berubah menjadi kriminalisasi,” kata Ismaruddin, Ketua PGRI Luwu Utara.

PGRI juga mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Prabowo Subianto, berharap kedua guru tersebut bisa mendapatkan pengampunan dan peninjauan ulang keputusan PTDH.

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved