Penculikan Bilqis
Sosiolog Unismuh Hadi: Penculikan Bilqis Menyingkap Wajah Baru Kejahatan
Keluarga modern yang sibuk, masyarakat yang sibuk dengan gawai, dan negara yang masih gagap menjaga warganya yang paling rentan
Ringkasan Berita:
- Hadisaputra dosen sosiologi menilai penculikan Bilqis menyingkap lapisan sosial rapuh
- Penculikan itu menunjukkan ruang publik kehilangan fungsinya sebagai arena solidaritas
- Keluarga sebagai institusi pertama wajib meningkatkan kewaspadaan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Dosen Pendidikan Sosiologi Unismuh Makassar Dr Hadisaputra menilai kasus Bilqis mengguncang kesadaran publik bukan hanya karena tragisnya kehilangan, tetapi menyingkap lapisan sosial yang rapuh.
Keluarga modern yang sibuk, masyarakat yang sibuk dengan gawai, dan negara yang masih gagap menjaga warganya yang paling rentan.
"Kasus Bilqis menyingkap bagaimana dunia digital, yang menjanjikan keamanan dan keterhubungan, justru membuka jalan bagi modus kejahatan yang canggih dan tersembunyi," kata Hadi kepada Tribun Timur Senin (10/11/2025).
Fenomena ini memperlihatkan apa yang disebut para sosiolog, sebagai disorganisasi sosial, ketika ruang publik kehilangan fungsinya sebagai arena solidaritas.
Taman kota yang semestinya menjadi ruang aman bagi anak-anak berubah menjadi wilayah anonim, tempat setiap orang hadir tanpa merasa terikat tanggung jawab moral terhadap yang lain.
"Kita hidup berdampingan tanpa benar-benar saling memperhatikan. Dalam dunia yang terlalu ramai, empati justru menjadi barang langka," kata Hadi.
Hadi mengutip perkataan, sosiolog Talcott Parsons mengajarkan masyarakat bertumpu pada keseimbangan fungsi sistem sosial, yakni keluarga, masyarakat, dan negara.
Ketiganya bekerja layaknya organ tubuh yang saling menopang.
Tetapi dalam kasus Bilqis, keseimbangan itu retak.
Keluarga modern sering kali terjebak dalam dilema antara kesibukan dan pengawasan, masyarakat kehilangan semangat kolektif; sementara negara lebih sering bersikap reaktif daripada proaktif.
"Inilah bentuk kegagalan sistemik yang melampaui kesalahan individu, sebuah potret bagaimana modernitas memproduksi ketidakhadiran moral di tengah kehadiran teknologi," kata Hadi.
Namun tidak semua kehilangan makna.
Ketika berita hilangnya Bilqis menyebar, media sosial berubah menjadi ruang solidaritas baru.
Orang-orang yang tak saling kenal tiba-tiba terhubung oleh satu kepedulian: menemukan anak yang hilang.
Di sinilah modal sosial bekerja di ruang digital.
Kepercayaan, jaringan, dan empati yang dulu lahir dari tatap muka kini bertransformasi menjadi energi kolektif virtual.
Meski tetap harus dicatat, kasus ini juga menyingkap wajah baru kejahatan, yaitu jaringan perdagangan anak yang memanfaatkan platform daring.
Dunia digital menyediakan topeng anonim bagi pelaku dan memperluas jangkauan mereka lintas provinsi.
Di sinilah kejahatan berubah menjadi jaringan ekonomi gelap, beroperasi dengan efisiensi kapitalisme, namun tanpa nurani.
Sementara itu, dari sudut sosiologi hukum, tragedi Bilqis menantang efektivitas kebijakan publik.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang memang sudah ada, tetapi hukum sering kalah cepat dari modus kejahatan.
Hukum tanpa moral publik hanyalah teks beku, ia butuh dukungan kesadaran sosial agar hidup dan efektif.
Artinya, perlindungan anak tidak cukup dengan hukuman berat, ia menuntut perubahan budaya, penguatan empati, dan partisipasi kolektif.
Kasus Bilqis mengajarkan bahwa keamanan anak bukan sekadar urusan keluarga atau polisi, melainkan urusan seluruh masyarakat.
Di taman, di sekolah, di media sosial, setiap kita adalah penjaga yang mungkin tidak sadar sedang memegang peran penting.
"Di tengah dunia yang serba cepat dan digital, kita ditantang untuk menata ulang makna “menjaga”, bukan dengan kecurigaan, tapi dengan kehadiran. Karena dalam masyarakat yang saling memperhatikan, anak-anak tak akan mudah hilang, bahkan di tengah hiruk pikuk dunia yang nyaris tanpa batas," kata Hadi.
Rekomendasi Sosiologis
Pertama, keluarga sebagai institusi pertama wajib meningkatkan kewaspadaan dan pengetahuan.
Orang tua perlu diberdayakan dengan edukasi parenting modern yang menekankan aspek keamanan.
Misalnya, melatih orang tua untuk selalu menggandeng anak di tempat umum, tidak meninggalkan anak tanpa pengawasan meski sekejap, dan membekali anak dengan pemahaman sederhana menghadapi orang asing.
Keluarga juga perlu membangun komunikasi terbuka, anak didorong bercerita bila ada orang asing yang mendekati atau hal mencurigakan terjadi, sehingga orang tua bisa bertindak cepat.
Kedua, masyarakat sekitar harus menghidupkan kembali semangat “jaga lingkungan” dalam versi urban.
Artinya, warga hendaknya saling peduli terhadap anak-anak di lingkungannya.
Bila melihat anak kecil dengan orang tak dikenal dalam situasi janggal (misal, anak terlihat bingung atau dibawa tergesa-gesa), tidak ada salahnya menghampiri dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Dalam perspektif Sosiologi, disorganisasi sosial di perkotaan ditandai lemahnya ikatan antarwarga, berkontribusi pada peluang kejahatan.
Kasus Bilqis menjadi alarm bahwa solidaritas sosial harus dibangun bahkan di ruang-ruang publik, petugas keamanan di taman, hingga para pedagang kaki lima bisa dilibatkan dalam pengawasan lingkungan ramah anak.
Di Makassar, banyak pihak turut berdoa dan mendukung pencarian Bilqis, menunjukkan modal sosial itu ada; tinggal dialihkan menjadi sistem kewaspadaan bersama sehari-hari.
Ketiga, Negara memiliki peran sentral melalui kebijakan dan penegakan hukum.
Pemerintah perlu memastikan infrastruktur keamanan publik memadai, misalnya CCTV di area bermain anak, patroli rutin di titik rawan, dan prosedur tanggap darurat ketika ada laporan anak hilang.
Sistem hukum juga harus tegas memberikan efek jera.
Walau hukuman 15 tahun menanti para pelaku, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai jerat hukum perdagangan bayi/anak selama ini “belum optimal” dan cenderung lemah.
Revisi regulasi mungkin diperlukan untuk menutup celah hukum, termasuk memperberat hukuman bagi yang terlibat jaringan perdagangan anak.
Selain penindakan, upaya preventif pemerintah bisa berupa kampanye edukasi tentang bahaya penculikan dan perdagangan anak, serta layanan aduan yang responsif bagi masyarakat.
KPAI mencatat pada tahun 2023 saja terdapat 64 aduan kasus eksploitasi dan perdagangan anak, meningkat dari 33 kasus di 2022, dan angka nyata bisa lebih tinggi karena banyak yang tak terlapor.
Ini menunjukkan urgensi peran negara dalam melindungi kelompok paling rentan ini secara lebih proaktif.
Keempat, media, baik jurnalisme maupun media sosial, turut menjadi arena kontrol sosial.
Maraknya isu penculikan anak di media sosial, termasuk kadang berita hoaks, menunjukkan dua sisi mata uang.
Satu sisi, media dapat menyebarkan kepanikan yang kontraproduktif; namun di sisi lain, media sangat efektif menggalang perhatian dan sumber daya masyarakat saat terjadi kasus nyata.
Dalam kasus Bilqis, media lokal hingga nasional cepat mengabarkan hilangnya sang bocah, sehingga tekanan publik mendorong aparat bergerak cepat.
Di era digital, setiap orang bisa membantu kontrol sosial dengan cara sederhana, membagikan poster anak hilang yang valid, memberikan informasi jika melihat sesuatu, dan tidak ikut menyebarkan rumor tak berdasar.
| Penculik Bilqis Jual 10 Anak |
|
|---|
| Cegah Pedagangan Anak, Munafri Minta Pengawasan Jalur Transportasi Diperketat |
|
|---|
| SAKSI KATA: Jalan Berliku Penuh Haru 4 Polisi Makassar Jemput Bilqis di Perkampungan Adat Jambi |
|
|---|
| Jalan Berliku Penuh Haru 4 Polisi Makassar Jemput Bilqis di Perkampungan Adat Jambi |
|
|---|
| Profil Irjen Djuhandhani Rahardjo Eks Dirtipidum Bareskrim Umumkan Kasus Penculikan Bilqis |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20251111-Hadisaputra-Dosen-Prodi-Pendidikan-Sosiologi.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.