DDI Mangkoso
53 Tahun Menunggu Berkah Mangkoso: Kisah Inspiratif Pengusaha Sukses Papua Haji Abidin Syam
tiga bulan setelah menyerahkan mobil ke Anregurutta Mangkoso, Haji Abidin Syam beli tunai Toyota Alphard
Oleh: Ahmad Rasyid Amberi Said
Pembina Ponpes DDI Mangkoso
TRIBUN-TIMUR.COM - “Saya hanya ingin menyakinkan kita semua, terutama anak-anakku yang tadi dilepas berangkat melanjutkan kuliah di Mesir, bahwa berkah itu ada, meski kadang kita harus menunggu datangnya.”
Kalimat itu meluncur dari bibirnya yang bergetar. Matanya menyiratkan haru saat mengucapkan kalimat tersebut.
“Saya harus menunggu 53 tahun untuk merasakan berkah itu,” katanya menambahkan.
Kalimat tersebut terucap saat Peletakan Batu Pertama Pembangunan Masjid Raya Ahlussuffah Kampus 2 Putra Nurul Jihad Tonrongnge.
Penutur kalimat itu adalah Haji Abidin Syam. Dia donatur utama pembangunan Masjid Raya Ahlussuffah. Dia hadir dan meletakkan langsung batu pertama pertanda dimulainya pembangunan masjid di puncak bukit Tonrongnge.
Haji Abidin Syam hadir bersama Anregurutta HM Faried Wadjedy, Kepala Kanwil Kemenag Sulsel Ali Yafid, Kepala TU Kanwil Kemenag Sulsel H Aminuddin, Kepala Bidang PD Pontren Kemenag Sulsel Dr H Muhammad Yunus, dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Barru Jamaruddin.
Haji Abidin Syam sudah sepuh. Tahun ini memasuki delapan puluh tahun. Bila berjalan, kadang harus dipapah. Mengerjakan salat pun harus duduk di atas kursi.
Tapi kondisi fisik tak menyurutkan niatnya melakukan kebaikan. Bahkan kian bersemangat.
Hampir setiap acara di Pesantren DDI Mangkoso, baik di Kampus 1 Mangkoso, Kampus 2 Putra Tonrongnge, atau di Kampus 3 Putri Bululampang, Haji Abidin Syam hadir membersamai Anregurutta Mangkoso.
Dia merasa sangat dekat dengan Anregurutta Mangkoso.
“Selepas SR di kampung halaman saya di Barru, saya sekolah di Mangkoso sekitar tahun 1958 di tingkatan ibtidaiyah. Saya masih diajar langsung oleh Anregurutta Faried Wadjedy dan Anregurutta H Amberi Said. Tapi saya tidak sampai tamat,” jelas Haji Abidin Syam.
Tahun 1960 ia lalu merantau ke Kalimantan dan Papua. Hampir semua wilayah Papua, termasuk kampung di pelosok, dijelajahinya mengadu nasib.
“Saya orang miskin, jadi harus bekerja keras. Hampir semua pekerjaan kasar, asal halal, saya kerjakan. Mulai sebagai kuli bangunan, jual minyak tanah, tukang reparasi arloji, yang penting menghasilkan uang,” kata Haji Abidin Syam.
Penderitaan dan kegetiran hidup hampir setiap saat ia rasakan. Saat itulah ia kadang ragu, apakah berkah itu memang ada?

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.