TRIBUN-TIMUR.COM, GOWA- Pengadilan Negeri Sungguminasa kembali menggelar sidang perkara peredaran uang palsu yang menyeret seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berprofesi sebagai guru di Makassar, Sukmawati.
Perkara ini membuka fakta mengejutkan tentang modus transaksi uang palsu yang melibatkan pertukaran uang asli dengan nominal dua kali lipat dalam bentuk palsu.
Dalam sidang yang digelar Jumat (4/7/2025) malam, Sukmawati hadir sebagai saksi mahkota terhadap terdakwa utama, Mubin Nasir, mantan honorer UIN Alauddin Makassar.
Di hadapan majelis hakim, tangis Sukmawati pecah saat mengenang momen penangkapannya oleh polisi, serta ketika mengungkap maksud awal dari keterlibatannya dalam perkara tersebut.
“Uang itu saya niatkan untuk modal usaha, saya mau kasih kejutan ke suami saya,” ujar Sukmawati sambil terisak.
Menurut pengakuannya, ia menerima uang palsu senilai Rp40 juta setelah menyerahkan uang asli Rp20 juta kepada Mubin melalui perantara Satariah.
Uang itu diterima dalam kantong plastik putih berisi empat ikat uang dengan label BRI, yang disebut lolos uji ultraviolet (UV) oleh Mubin, sehingga meyakinkan Sukmawati bahwa uang tersebut “layak edar”.
Modus yang digunakan cukup sederhana namun berbahaya: penawaran uang palsu dengan iming-iming “layak pakai” dan mampu menembus uji UV, ditukar dengan uang asli.
Dalam kasus ini, 38 juta dari total uang palsu yang diterima digunakan untuk belanja sehari-hari di pasar tradisional, toko modern, hingga disumbangkan ke pemulung.
“Saya pernah belanja di Alfa dan lolos itu uang. Saya juga sedekahkan ke pemulung Rp100 ribu, Rp150 ribu, sampai Rp300 ribu,” ujarnya di ruang sidang Kartika.
Fakta menarik lainnya, Sukmawati menyebut bahwa ia sempat menyimpan sisa uang palsu sekitar Rp23,4 juta di bawah tegel dekat sumur, karena khawatir rumahnya kembali kemalingan.
Ia juga mengakui bahwa suaminya tidak mengetahui keterlibatannya dalam urusan tersebut.
Jaksa Penuntut Umum menyoroti ketidaktahuan Sukmawati soal keaslian uang tersebut.
Namun, Sukmawati berdalih bahwa ia hanya mengetahui uang itu disebut "layak edar", bukan palsu.
Kasus ini mengungkap lemahnya pemahaman sebagian masyarakat terkait peredaran uang palsu serta risiko dari iming-iming keuntungan instan.