“Anak-anak ini sebenarnya belum siap menjadi istri atau suami, apalagi menjadi orang tua. Tapi karena kondisi tertentu, orang tua justru mendorong untuk menikah,” ujar Kepala DP3A Luwu, Hj St Hidayah Mande, Kamis (3/7/2025).
Ia menjelaskan, pernikahan anak hanya bisa dilakukan dengan izin dari Pengadilan Agama, dan harus melalui asesmen DP3A.
“Meliputi pemeriksaan kesehatan, tes kehamilan, hingga konseling psikologis. Hasilnya kami tuangkan dalam surat rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi pengadilan,” tambah Hidayah.
Lebih jauh, DP3A Luwu menilai pernikahan dini menyumbang angka kemiskinan dan anak putus sekolah.
“Kalau kita analisis, 16 kasus berarti 16 calon kepala keluarga miskin, 32 anak putus sekolah, dan 16 perempuan yang berisiko mengalami komplikasi saat melahirkan,” jelas Hidayah.
Budaya Malu Jadi Pemicu
Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Idham Irwansyah, menyebut faktor budaya juga ikut berperan.
“Masih kuatnya norma tradisional, rendahnya pendidikan, kemiskinan, serta perkembangan teknologi digital tanpa pengawasan orang tua membuat anak-anak rentan menikah muda,” ujarnya.
“Ketika itu terjadi, pilihan utama keluarga adalah menikahkan anak secepatnya agar tidak mencoreng nama baik,” sambung Idham. (*)