Lipsus Pernikahan Dini

Kenapa Nikah Muda? Ini Fakta di Balik 29 Kasus Pernikahan Dini di Bone dan Luwu 6 Bulan Terakhir

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

NIKAH MUDA - ilustrasi meta ai. Dalam enam bulan terakhir, tercatat 29 kasus pernikahan dini di Bone dan Luwu. Mayoritas karena hamil di luar nikah. 

TRIBUN-TIMUR.COM -  Fenomena pernikahan dini masih terjadi di Sulawesi Selatan. 

Dalam enam bulan terakhir, tercatat 29 kasus pernikahan dini.

Terdiri dari 13 kasus di Kabupaten Bone dan 16 kasus di Kabupaten Luwu.

Kasus ini menunjukkan bahwa nikah muda masih menjadi pilihan.

Terutama ketika kehamilan di luar nikah tidak dapat dihindari.

Berikut fakta di balik 29 kasus nikah muda di Bone dan Luwu Sulsel. 

Kasus di Bone

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kabupaten Bone mencatat, hingga Juni 2025 terdapat 13 pasangan mengajukan permohonan rekomendasi dispensasi nikah dini.

Hal itu diungkapkan Kepala UPT Perlindungan Perempuan dan Anak DP3A Bone, Agung.

Ia menyayangkan kasus nikah muda cukup tinggi di wilayahnya. 

Bahkan banyak memilih menikah siri karena tak mendapatkan rekomendasi. 

“Kalau yang nikah siri ini kita tidak catat,” ujarnya, Senin (1/7/2025).

Baca juga: 6 Bulan 16 Kasus Nikah Dini di Luwu, Mayoritas Putus Sekolah hingga Hamil di Luar Nikah

Menurutnya, dari 13 permohonan rekomendasi, hanya 10 dikabulkan karena hamil di luar nikah.

“Yang 13 ini hanya 10 yang kami berikan, tiga itu tidak hamil di luar nikah,” akuinya.

Agung menegaskan, syarat tersebut bukan berarti mendorong anak untuk hamil sebelum menikah.

Melainkan bentuk edukasi agar masyarakat tidak menjadikan nikah dini sebagai solusi.

“Kita tetap mau edukasi masyarakat supaya tidak nikah dini, makanya kita kasih syarat seperti itu,” tandasnya.

Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bone menyatakan rekomendasi hanya diberikan jika terjadi kehamilan di luar nikah.

“Yang minta tidak lagi bisa diberikan jika tidak dalam kondisi yang mendesak dalam arti yang bersangkutan mengalami hamil di luar nikah,” ujar Martina Majid, Pemerhati Anak dan Perempuan P2TP2A Bone, Rabu (2/7/2025).

Menurutnya, pengaruh pergaulan bebas menjadi penyebab utama, bukan lagi faktor ekonomi.

“Justru sekarang di Bone, uang panai tidak terlalu jadi masalah. Cuma itu karena pergaulan,” lanjutnya.

Plt Kadinkes Bone, drg Yusuf, menilai pencegahan pernikahan dini tidak cukup dilakukan satu pihak saja.

“Jadi ini perlu bersinergi semua agar sama-sama menjaga dan tidak terjadi hal seperti ini,” ucapnya.

drg Yusuf, mengungkapkan risiko dari segi kesehatan juga sangat tinggi.

“Seperti belum siapnya organ reproduksi, mental menjadi orang tua, dan parahnya anak yang dikandung bisa dilahirkan mohon maaf dalam keadaan cacat,” katanya.

Ia juga menyoroti masalah psikologis hingga perceraian dini karena emosi yang belum stabil.

“Karena emosionalnya belum matang jadi gampang meledak-ledak, akhirnya gugat cerai,” bebernya.

Kasus di Luwu

Di Kabupaten Luwu, DP3A mencatat 16 kasus pernikahan dini hingga pertengahan tahun 2025. 

Angka ini menurun dari tahun 2024 yang mencapai 36 kasus.

“Anak-anak ini sebenarnya belum siap menjadi istri atau suami, apalagi menjadi orang tua. Tapi karena kondisi tertentu, orang tua justru mendorong untuk menikah,” ujar Kepala DP3A Luwu, Hj St Hidayah Mande, Kamis (3/7/2025).

Ia menjelaskan, pernikahan anak hanya bisa dilakukan dengan izin dari Pengadilan Agama, dan harus melalui asesmen DP3A.

“Meliputi pemeriksaan kesehatan, tes kehamilan, hingga konseling psikologis. Hasilnya kami tuangkan dalam surat rekomendasi sebagai bahan pertimbangan bagi pengadilan,” tambah Hidayah.

Lebih jauh, DP3A Luwu menilai pernikahan dini menyumbang angka kemiskinan dan anak putus sekolah.

“Kalau kita analisis, 16 kasus berarti 16 calon kepala keluarga miskin, 32 anak putus sekolah, dan 16 perempuan yang berisiko mengalami komplikasi saat melahirkan,” jelas Hidayah.

Budaya Malu Jadi Pemicu

Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Idham Irwansyah, menyebut faktor budaya juga ikut berperan.

“Masih kuatnya norma tradisional, rendahnya pendidikan, kemiskinan, serta perkembangan teknologi digital tanpa pengawasan orang tua membuat anak-anak rentan menikah muda,” ujarnya.

“Ketika itu terjadi, pilihan utama keluarga adalah menikahkan anak secepatnya agar tidak mencoreng nama baik,” sambung Idham. (*)

 

 

 

 

 

 

Berita Terkini