FGD Rabat Anggaran di Sulsel

Prof Abdul Hamid Kritik Anggaran Pendidikan Rp400 Triliun yang Tak Efektif

Penulis: Kaswadi Anwar
Editor: Saldy Irawan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

FGD TRIBUN - Guru Besar Ilmu Ekonomi Keuangan Negara/Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Abdul Hamid Paddu (kiri) saat hadir sebagai narasumber di FGD Tribun Timur dengan tema Menakar Dampak Rabat Anggaran Terhadap Bisnis dan Ekonomi Sulsel di lobby Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih 430, Kelurahan Sambung Jawa, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, Selasa (18/2/2025). Prof Abdul Hamid Paddu menjelaskan esensi Inpres 1 Tahun 2025.

Berbeda jika Rp 71 triliun itu ke daerah dalam bentuk lain, pasti akan dipakai perjalanan dinas dan segala macamnya. Itu akan terjadi inefisiensi.

“Jika Rp 71 triliun itu murni beredar di lokal di seluruh Indonesia, artinya ada tambahan uang, ekonomi di seluruh daerah di Indonesia nilainya Rp 71 triliun,” jelasnya.

Pria kelahiran Ujung Pandang ini memaparkan, selama ini uang dikirim ke daerah ada yang buat konstruksi. Beli bahannya dari luar negeri seperti China. Belum lagi biaya operasionalnya sehingga pertumbuhan ekonominya hanya setengah.

Namun, jika itu diperuntukkan misal untuk beli telur, ayam  dari daerah sendiri untuk program makan bergizi gratis akan memberi dampak multiplayernya  terhadap ekonomi akan tinggi sekali.

“Selama ini kita terperangkap dalam kedaruratan inefisiensi yang terjadi. Begitu banyak uang yang tidak membawa berkah kepada output yang namanya efisiensi,” ujarnya.

Prof Hamid memaparkan, hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat. Makanya, Amerika Serikat sekarang memiliki Departement of Government Efficiency (DOGE).

Mereka sudah berpikir banyak sekali uang pemerintah yang kemudian menguap, inefisien. Dalam teori ekonomi itu menguap, tidak ke mana-mana, tidak dinikmati masyarakat, tidak dinikmati oleh produsen.

“Kita keluarkan uang Rp 100 perak, hanya sekira puluhan perak menghasilkan,  selebihnya menguap, tidak menghasilkan. Ini tidak boleh dilakukan,” imbaunya.

Makanya, ia memandang apa yang dilakukan pemerintah  akan menyiapkan kearah pertumbuhan ekonomi dan dan daerah jika ini bisa disadari dengan baik.

Namun, ini cukup berat karena yang dihantam kebijakan ini adalah semua pihak yang sudah terlanjur terperangkap dengan mentalitas pembangunan yang nyaman, yang selalu ingin free rider, namanya barang publik gratisan. Tidak mau membayar, pembangunan selalu diminta,” jelasnya.

Prof Hamid pun meminta agar model seperti ini ditinggalkan. Pemerintah harus menggunakan uangnya dengan kebijakan strategis. Seperti kepada rakyat miskin, kepada yang menganggur dan kepada yang tidak punya gizi yang cukup.

Selebihnya diarahkan ke hal strategis agar membuka ruang sektor swasta bisa berkembang. Pemerintah siapkan saja, seperti tanah, drainase, listrik dan sebagainya.

Nantinya pihak swasta yang datang membangun kawasan itu.

“Daerah  juga harus menjabarkan Inpres ini untuk melakukan efisiensi, memotong belanja operasional,” pungkasnya. (*)

Berita Terkini