TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Guru Besar Ilmu Ekonomi Keuangan Negara/Ekonomi Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Abdul Hamid Paddu menyebut, dana pendidikan 20 persen dari APBN atau Rp 400 triliun yang dikirim ke daerah selama ini tidak menempatkan pendidikan jadi lebih baik.
Ia memaparkan selama 30 tahun ini skor ilmu pengetahuan membaca, matematika dan sains Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) siswa Indonesia di tingkat ASEAN terus menurun.
Berbanding terbalik dengan siswa SMP dan SMA di Thailand, Vietnam dan Filipina yang terus naik.
Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber di FGD Tribun Timur dengan tema Menakar Dampak Rabat Anggaran Terhadap Bisnis dan Ekonomi Sulsel di lobby Kantor Tribun Timur, Jl Cendrawasih 430, Kelurahan Sambung Jawa, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar, Selasa (18/2/2025).
“Kita diberi keuangan Rp 400 triliun, lari ke mana ini uang, kenapa tidak menjadi lebih baik,” sebutnya.
Prof Hamid melanjutkan, setelah dipelajari, ilmu pengetahuan membaca, matematika dan sains lemah karena siswa sejak SD lemah di otak. Penyebabnya, gizi yang kurang.
Diteliti di semua kabupaten, anak-anak rata-rata masuk sekolah kalau duduk matanya kosong dan menerawang.
Itu artinya orang yang lagi lapar atau posisi lapar. Ini disebut stunting. Lapar karena tidak ada uang, bisa juga pola makan.
Kemudian diteliti dari 10 anak, hanya satu bawa uang ke sekolah. Rata-ratanya Rp 5 ribu. Uang Rp 5 ribu ini mau makan apa, gizi apa yang cukup.
Sembilan anak tidak bawa uang, jadi kalau anak sekolah diberi ilmu tidak bisa bersaing.
“Tidak bisa membawa pemimpin yang baik, tidak pernah membawa ekonomi bertumbuh secara baik. Habis uang ratusan triliun tiap tahun untuk menyiapkan pendidikan dan kita gagal,” terangnya.
Maka untuk jangka strategisnya, ungkap dia, anak-anak ini perlu dipersiapkan. Bangsa ini harus terbangun demi anak-anak ini menjadi pemenang.
Untuk itu ada program makan bergizi gratis dari pemerintah. Anak-anak ini dikasih makan, dikasih gizi.
Menurut Prof Hamid, kalau dikalkulasi lima-enam tahun akan punya dampak yang sangat besar dalam dunia pendidikan dan akan mendorong ekonomi jadi lebih baik.
Sisi lainnya adalah, ketika uang diberikan taruhlah Rp 71 triliun, itu akan efisien sekali. Tidak ada lemak atau pemborosan anggaran.
Berbeda jika Rp 71 triliun itu ke daerah dalam bentuk lain, pasti akan dipakai perjalanan dinas dan segala macamnya. Itu akan terjadi inefisiensi.
“Jika Rp 71 triliun itu murni beredar di lokal di seluruh Indonesia, artinya ada tambahan uang, ekonomi di seluruh daerah di Indonesia nilainya Rp 71 triliun,” jelasnya.
Pria kelahiran Ujung Pandang ini memaparkan, selama ini uang dikirim ke daerah ada yang buat konstruksi. Beli bahannya dari luar negeri seperti China. Belum lagi biaya operasionalnya sehingga pertumbuhan ekonominya hanya setengah.
Namun, jika itu diperuntukkan misal untuk beli telur, ayam dari daerah sendiri untuk program makan bergizi gratis akan memberi dampak multiplayernya terhadap ekonomi akan tinggi sekali.
“Selama ini kita terperangkap dalam kedaruratan inefisiensi yang terjadi. Begitu banyak uang yang tidak membawa berkah kepada output yang namanya efisiensi,” ujarnya.
Prof Hamid memaparkan, hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat. Makanya, Amerika Serikat sekarang memiliki Departement of Government Efficiency (DOGE).
Mereka sudah berpikir banyak sekali uang pemerintah yang kemudian menguap, inefisien. Dalam teori ekonomi itu menguap, tidak ke mana-mana, tidak dinikmati masyarakat, tidak dinikmati oleh produsen.
“Kita keluarkan uang Rp 100 perak, hanya sekira puluhan perak menghasilkan, selebihnya menguap, tidak menghasilkan. Ini tidak boleh dilakukan,” imbaunya.
Makanya, ia memandang apa yang dilakukan pemerintah akan menyiapkan kearah pertumbuhan ekonomi dan dan daerah jika ini bisa disadari dengan baik.
Namun, ini cukup berat karena yang dihantam kebijakan ini adalah semua pihak yang sudah terlanjur terperangkap dengan mentalitas pembangunan yang nyaman, yang selalu ingin free rider, namanya barang publik gratisan. Tidak mau membayar, pembangunan selalu diminta,” jelasnya.
Prof Hamid pun meminta agar model seperti ini ditinggalkan. Pemerintah harus menggunakan uangnya dengan kebijakan strategis. Seperti kepada rakyat miskin, kepada yang menganggur dan kepada yang tidak punya gizi yang cukup.
Selebihnya diarahkan ke hal strategis agar membuka ruang sektor swasta bisa berkembang. Pemerintah siapkan saja, seperti tanah, drainase, listrik dan sebagainya.
Nantinya pihak swasta yang datang membangun kawasan itu.
“Daerah juga harus menjabarkan Inpres ini untuk melakukan efisiensi, memotong belanja operasional,” pungkasnya. (*)