Mereka sangat rawan diintervensi, apalagi jika dikaitkan dengan akademiknya, takut dipersulit atau bakhkan diancam dengan alasan beragam.
"Mungkin tidak secara eksplisit terungkapkan tetapi karena dia merasa pihak lower sehingga sering kali memang memproyeksikan dirinya bahwa takut," ulasanya.
Ketakutan yang dirasakan oleh korban jika dibiarkan secara terus-menerus justru akan membuat pelaku makin berani.
Misalnya, jika dia melakukan kejahatan ke satu orang lantas tak ada perlawanan maka aksi tersebut akan terus dibiasakan.
"Jika si korban tidak memberikan perlawanan, melaporkan ke atasan atau pihak berwajib, orang ini merasa akan semakin superior. Endingnya dia akan cari korban baru, dan itu terjadi pengulangan akhirnya terjadi habituasi," paparnya.
Selain karena terkungkung rasa takut, korban juga kerap mendapat perlakuan tak pantas jika ia menjadi korban pelecehan.
Rasa malu menjadi beban berat untuk dipikul jika orang lain tahu bahwa korban pernah dilecehkan.
Korban yang seharusnya mendapat perlindungan dan rasa aman justru menjadi korban dobel.
Korban dobel dalam artian mendapat bullyan, dikucilkan, bahkan kerap disalahkan.
"Kadang pandangan orang yang dilapori kalau mereka tidak aware mereka malah justru menyalahkan korban, ah jangan-jangan kau yang pancing, jangan-jangan memang kau pake baju seksi, dan seterusnya," jelasnya.
Stigma seperti ini yang perlu dihilangkan kata Widyastuti agar korban mendapat dukungan dan kekuatan untuk melaporkan kejadian tak senonoh yang dialaminya.
Untuk kasus pelecehan di lingkup pendidikan memang harus dicegah bersama.
Kementerian Pendidikan sudah melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan untuk lembaga pendidikan.
Itu sudah satu langkah yang cukup bagus, termasuk yang dilakukan oleh Unhas dengan membentuk satgas untuk menangani kasus ini.
"Itu hal yang cukup bagus tetapi mereka jangan cuman menunggu, sebaiknya jemput bola, sosialisasi harus lebih banyak bahwa kalau ada mengalami dan melihat ini silahkan melaporkan," tutupnya.(*)