Indra Keberagamaan (23)
Oleh: Hamdan Juhannis
Rektor UIN Alauddin Makassar
TRIBUN-TIMUR.COM - Saya ingin berceloteh tentang tukang cukur dan keikhlasan. Ada fenomena menarik sejak covid. Banyak laki-laki memilih berjarak dengan tukang cukur langganannya. Alasannya, takut tertular melalui alat-alat yang dipakainya saat dicukur.
Jadinya, ada yang memilih membiarkan rambutnya gonrong. Ada yang meminta tolong sama temannya untuk saling memotong rambut. Ada yang pergi beli alat cukur sendiri, lalu istrinya diminta memotong rambutnya. Kembali lagi ke multitasking istri, sampai urusan gunting rambutpun, mereka harus turun tangan.
Saya sudah pernah melakukan semua yang saya sebutkan di atas, sampai saya menemukan cara baru, memanggil tukang cukur datang ke tempat saya, mengikuti cara teman. Tentu dengan bayaran tambahan, minimal dua kali lipat dari bayaran normal.
Saya bahkan pernah sekali memberinya 4 kali lipat dari harga normal, tapi saya hentikan, takut dia terbiasa, dan saya sudah tidak bisa. Nasib, orang seperti saya yang belum selesai dengan dirinya.
Inilah topik sesungguhnya celoteh saya. Tukang cukur panggilan saya itu tidak setiap saat bisa dipanggil, karena punya tempat kerja sendiri dan ada kegiatan lainnya.
Jadi selalu saya menunggu waktu yang tepat darinya. Info dari dia, sekarang bisanya singgah hanya sabtu atau minggu.
Hari ini saya cukur sama dia, setelah menunggu beberapa hari. Sekali dicukur saya kasih 50 ribu dari tarif normalnya, 20 ribu. Yang merasa anak-anak, bisa dibawahnya.
Hari ini saya sedikit repot, karena tidak punya uang pas 50 ribu, adanya uang 100 ribu.
Jadi proses cukurnya begitu lama baru dimulai karena saya disibukkan dengan mencari uang 50. Saking repotnya, sampai saya meminta uang 50 pada orang yang sering saya kasih uang 50. Akhirnya dapat.
Pertanyaannya, kenapa sepelit itu saya tidak langsung memberikan saja uang 100 ribu? Hitung-hitung ini bulan Ramadan, bulan berbagi. Bukankah Uang 50 ribu sisanya bisa dicari gantinya, dibanding kebahagiaan si tukang cukur yang diberi sedekah?
Saya ingin mengindra bahwa fenomena ini sebagai gejala keberagamaan seseorang.
Pada diri saya, sedang berkecamuk antara keinginan bersedekah dengan perilaku minus si tukang cukur di benak saya.
Di satu sisi, saya ingin memberikan uang tambahan sebagai langganan saya, namun di lain sisi, saya diganggu oleh perasaan sulitnya memanggil dia setiap saat, padahal bayarannya sudah saya lebihkan.
Saya hitung-hitungan pada dia di satu sisi, karena dia juga hitung-hitungan sama saya di sisi lain, semua menderu di benak saya, bukan di benak si tukang cukur.
Saya memutuskan tidak memberikan tambahan uang capek, karena saya menimbang dia tidak menjalankan tugasnya lebih banyak dari seharusnya.