Oleh: Sawedi Muhammad
Sosiolog Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Menarik untuk ditanggapi polemik dan dinamika kepengurusan Ikatan Alumni Universitas Hasanuddin (IKA Unhas) menjelang lengsernyanya Jusuf Kalla sebagai Ketua Umumnya.
Berawal dari keputusan Pengurus Pusat untuk melakukan Mubeslub IKA Unhas di Jakarta akhir Oktober lalu dengan membahas agenda tunggal yaitu AD/ART organisasi, khususnya di pasal menyangkut tata cara pemilihan. Kontroversi pun tak terhindarkan.
Banyak pihak menilai bahwa Mubeslub IKA Unhas tidak sesuai AD/ART.
Mubeslub harusnya dilakukan atas permintaan dari bawah yaitu IKA Unhas wilayah, IKA Fakultas dan Komisariat.
Ada juga yang berpendapat kalau hanya sekadar membahas AD/ART, cukup dibentuk Kelompok Kerja (Pokja) saja. Hasil Pokja ini yang akan dibicarakan di Mubes.
Polemik lainnya adalah tempat diadakannya Mubes untuk memilih Ketua Umum IKA Unhas yang baru.
Sesuai laporan SC yang beredar di group WAG alumni Unhas beberapa hari setelah Mubeslub, dinyatakan bahwa Mubes akan dilakukan di Jakarta, dua bulan setelah Mubeslub.
Beberapa alumni, termasuk SC yang tidak sempat hadir di Jakarta mempertanyakan keabsahan penentuan lokasi.
Menurutnya, kalau agenda tunggal Mubeslub hanya membahas AD/ART, mengapa diputuskan Jakarta sebagai tempat Mubes mendatang?
Mereka yang protes, mengusulkan tempat paling ideal dan realistis untuk Mubes adalah di kampus Unhas Tamalanrea di Makassar. Sementara dari SC dan OC yang hadir bertahan bahwa apa yang telah disepakati di Mubeslub adalah final.
Menurutnya, kesepakatan Jakarta sebagai lokasi Mubes hanya bisa diubah apabila diusulkan oleh IKA Fakultas, Wilayah dan Komisariat ke DPP.
Perdebatan sengit berlanjut. Mereka yang pro Mubeslub bergeming atas segala protes dan tuntutan dari pihak yang mempertanyakan hasil Mubeslub IKA Unhas.
Perdebatan di WAG Unhas bahkan berlangsung selama beberapa minggu.
Masing-masing menguatkan argumentasi, menganggapnya paling benar dan menyalahkan yang lainnya.
Ciri dominan mereka yang pro Mubeslub, argumentasinya terkesan otoritatif sebagai pemegang legitimasi dan mandat dari DPP.
Mereka yang menentangnya dianggap tidak mengetahui persoalan, tidak memahami dinamika berorganisasi, memiliki kepentingan tertentu, berpikiran sok idealis, bahkan terkesan dianggap membuat kegaduhan.
Pihak yang mempertanyakan hasil Mubeslub pun tidak tinggal diam.
Mereka menganggap kelompok yang pro Mubeslub adalah “para penikmat” di lingkar dalam JK yang tidak obyektif melihat persoalan. Kelompok ini berlindung di balik Mubeslub IKA Unhas untuk memuluskan agenda menggolkan kandidat tertentu setelah JK.
Mereka ingin mempertahankan manajemen IKA Unhas yang elitis, eksklusif dan menjalankan organisasi secara konvensional seperti saat JK menjadi Ketua Umum IKA Unhas.
Perdebatan antara aktor yang pro dan kontra hasil Mubeslub IKA Unhas, menarik untuk dianalisis dengan menggunakan perspektif *“Hukum Dasar Kedunguan”* - sebuah konsep yang ditulis oleh ekonom dan sejarawan Italia Carlo M Cipolla - dalam artikelnya yang berjudul “The Basic law of Human Stupidity” (1976).
Tulisan ini bukanlah sesuatu yang serius untuk ditanggapi.
Anggap saja sebagai ruang untuk introspeksi, sekaligus cara untuk menertawai diri sendiri. Sebuah tawaran narasi dalam memahami bagaimana perilaku kita sehari-sehari – ketika berinteraksi dengan orang lain – yang tanpa disadari merugikan diri sendiri dan merugikan orang lain (dungu).
Bisa jadi dalam interaksi itu kita memperoleh keuntungan tapi merugikan orang lain (bandit). Atau tanpa kita sadari perilaku kita merugikan diri sendiri tapi menguntungkan orang lain (helpless).
Hukum Kedunguan
Menurut Cipolla, terdapat lima hukum dasar kedunguan atau hukum kedunguan.
Pertama, semua orang menganggap remeh jumlah orang dungu yang ada di sekitarnya. Hampir semua menganggap bahwa sangat sedikit jumlah orang dungu yang berinteraksi langsung setiap harinya.
Padahal menurut Cipolla, perilaku dungu itu ada dimana-mana dan jumlahnya sangat besar. Tolong pikirkan semua orang yang anda anggap cerdas, sebelum menyadari bahwa mereka sesungguhnya berperilaku bodoh dan tumpul.
Anda dapat membuktikan, setiap saat dapat menemukan orang dungu yang perilaku buruknya merugikan banyak orang.
Einstein pernah mengatakan “Hanya dua hal yang tak terbatas: alam semesta dan kebodohan manusia; namun saya tidak yakin dengan alam semesta”.
Kedua, kedunguan tidak identik dengan status atau kelas sosial tertentu. Ia bisa dilakukan oleh siapa saja.
Tidak peduli warna kulit, etnisitas, agama, pangkat dan jabatan.
Tidak dintentukan dimana orang itu berada; apakah di lingkaran kekuasaan, di kuil terpencil, di pedesaan atau di kota yang hiruk-pikuk. Orang dungu itu bisa jadi diri kita sendiri.
Manusia pada dasarnya berurusan dengan hal yang sama; berhadapan dengan orang-orang dungu.
Pandangan pesimistik ini menegaskan bahwa manusia ditakdirkan untuk berurusan dengan kedunguan.
Tidak ada solusi untuk menghindarinya. Manusia harus menerima kenyatan ini dan menghadapinya seumur hidupnya.
Ketiga, orang dungu adalah mereka yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain sementara ia tidak mendapatkan keuntungan bahkan dirugikan oleh tindakannya sendiri.
Cipolla menganggap bahwa kebodohan bukan masalah IQ, melainkan kurangnya keterampilan relasional. Orang seperti ini menurut Cipolla adalah mereka yang masuk kategori orang-orang dungu.
Untuk memahami bagaimana relasional seseorang dianggap membantu atau merugikan orang lain atau masyarakat, Cipolla menambahkan tiga tipologi perilaku manusia.
Maka, jika dibuat diagram dengan sumbu horizontal (keuntungan pribadi) dan sumbu vertikal (keuntungan orang lain), maka akan didapat empat Tipologi: cerdas (win-win), helpless (lose-win), bandit (win-lose), dan dungu (lose-lose).
Perilaku orang cerdas adalah menguntungkan dirinya dan menguntungkan orang lain. Perilaku orang helpless adalah merugikan dirinya dan menguntungkan orang lain.
Perilaku bandit adalah menguntungkan dirinya dan merugikan orang lain. Sementara perilaku orang dungu, tindakannya merugikan dirinya dan merugikan orang lain.
Intinya, orang-orang dungu adalah tipologi yang paling berbahaya. Perilakunya tidak dapat diprediksi. Ia dapat menyerang orang lain kapan dan dimana saja tanpa mendapat keuntungan apapun.
Hukum keempat, mereka yang tidak dungu menganggap remeh pengaruh dan dampak yang ditimbulkan oleh orang dungu. Cipolla menambahkan bahwa orang dungu sangat berbahaya karena mereka yang berakal sulit membayangkan dan memahami perilaku orang dungu.
Dalam perspektif ini, serangan orang dungu akan selalu mengejutkan orang cerdas. Hal ini membuatnya semakin sulit melakukan pembelaan yang masuk akal.
Dengan meremehkan kekuatan orang dungu, mereka yang cerdas sangat rentan dan selalu berada di bawah belas kasihan orang dungu.
Kelima, orang dungu adalah tipe orang yang paling berbahaya. Mereka lebih berbahaya dari para bandit. Faktanya, akal sehat memberi tahu kita bahwa orang-orang cerdas – betapapun sangat bermusuhan – perilaku mereka dapat diprediksi.
Sebaliknya, perilaku orang dungu sangat tidak bisa diprediksi bahkan dianggap remeh, meski daya rusaknya sangat berbahaya.
Dilihat dari perpsektif manapun, kita harus lebih waspada dan hati-hati menghadapi orang dungu.
Tindakannya tidak dapat dirasionalisasi oleh mereka yang rasional, karenanya sangat susah dihindari.
Apabila orang dungu dibiarkan berkuasa, maka segala tindakannya merugikan semua orang termasuk dirinya sendiri, bahkan dapat merugikan masyarakat secara luas.
Kembali ke polemik IKA Unhas. Perilaku yang pro dan kontra Mubeslub, dapat dibedakan ke dalam empat tipologi yang digambarkan oleh Cipolla: cerdas, helpless, bandit dan dungu. Yang pasti menurut hukum Cipolla, jumlah mereka yang cerdas jauh lebih sedikit dari mereka yang dungu.
Artinya, polemik IKA Unhas sangat berpotensi didominasi oleh orang-orang dungu; mereka yang perilakunya merugikan dirinya dan merugikan orang lain.
Orang-orang dungu itu bisa dari mereka yang pro atau yang kontra Mubeslub; bisa dari SC dan juga OC.
Semoga saja penulis esei ini tidak termasuk golongan orang-orang yang dungu.(*)