Sementara sejak Januari 2020 sampai saat ini sudah 11 pengungsi yang memilih untuk pulang secara sukarela.
Trending jumlah AVR tersebut, menurut Dodi, meningkat disebabkan oleh beberapa alasan.
Antara lain rata-rata pengungsi di Kota Makassar sudah bermukim selama 5 sampai 9 tahun.
Lalu terbatasnya aktivitas yang mereka dapat lakukan dikarenakan mereka bukan Warga Negara Indonesia.
Komunikasi yang intens dengan keluarga di negaranya membuat pengungsi merasakan "homesick" atau rindu pulang kampung atau Pulkam.
"Beberapa faktor tersebutlah yang membuat AVR menjadi preferensi yang relatif lebih mudah dibandingkan menunggu ketidakjelasan resettlement" jelas Dodi.
• Kondisi Ekonomi Timor Leste Makin Terpuruk, Data Bank Dunia pada April 2020 Pecahkan Rekor Sumbangan
• 5 Senjata Buatan Uni Soviet, Negaranya Tak Ada Tapi Masih Laris, dari AK-47 hingga Roket Katyusha
Tak dipungkiri Ahmed dan Ugbad adalah potret pengungsi yang tak dapat menuntaskan mimpinya menuju negara ketiga guna pemukiman kembali.
Mereka terpaksa 'bangun' karena tak adanya kejelasan penempatan ke negara ketia.
Ditambah lagi rasa rindu kepada sanak keluarga di negaranya yang tak sanggup mereka tahan.
Saat ini, masih tersisa sejumlah 1.660 pengungsi dibawah penanganan IOM Makassar serta dalam pengawasan Rudenim Makassar.
Keseluruhan pengungsi tersebut ditempatkan di 22 community house yang tersebar di Kota Makassar. (*)