Khazanah Sejarah

Dari Masyarakat Seragam Menuju Komunitas Pusparagam

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof Dr Ahmad M Sewang MA

Oleh: Ahmad M Sewang
Guru Besar UIN Alauddin Makassar - Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Ikatan Masjid Mubalig Indonesia Muttahidad (IMMIM)

Kata ilmuwan sosial, tidak ada satu pun di dunia ini yang tidak berubah. Semua mengalami perubahan. Panta rei, kata filosof.

Satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri, tambah sosiolog.

Penegasan itu juga disampaikan Allah dalam QS al-Rahman: 26-27, "Semua yang ada di bumi akan binasa. Dan yang tetap abadi adalah zat Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan."

Dari pandangan inilah, penulis berangkat bahwa dunia sekarang sudah berubah dibanding tahun 60-an.

Ketika masih remaja, penulis masih menyaksikan di kampung keseragaman paham keagamaan.

Jika ada paham lain datang, paham itu dianggap asing, aneh dan harus dienyahkan.

Cerita Warga Makassar di Tokyo Terkait Cara Pemerintah Jepang Sukses Lawan Covid-19

Di tempat lain kurang lebih 22 km dari kampung, di sebuah kecamatan paham keagamaannya beda dengan di kampung kami.

Walau sama-sama muslim, tetapi di kecamatan itu juga seragam paham keagamaannya yang hampir menguasai kecamatan itu.

Mungkin contoh-contoh ini bisa diperbanyakdan tajam bila jarak waktunya semakin jauh ditarik ke belakang.

Jika dibawa ke kehidupan sekarang, mengikuti irama perkembangan zaman, perbedaan paham keagamaan itu akan semakin bervariasi tetapi semakin menuju pada saling pemahaman.

Belum lagi generasi muda yang baru pulang dari studi di kota besar. Mereka datang dengan paham keaganaan barunya.

Belum termasuk orang yang bepergian jauh meninggalkan tanah air di luar negeri akan semakin banyak menyaksikan manusia yang aneka ragam dan beraneka paham.

Ditambah lagi kemajuan transformasi dan teknologi informasi yang semakin memcepat perpindahan paham. Sekarang mungkin tidak ada lagi kecamatan yang 100% hanya satu paham agama.

Kasus Tetangga Gugat Tetangga Rp 800 Juta Gara-gara Rumah Terbakar: Sidang Eksepsi Digelar Online

Apa yang perlu dilakukan? Metode dahulu dalam mewariskan nilai-nilai budaya sudah tidak sama lagi.

Dahulu penulis masih ingat orang-orang tua berpesan pada anak-anaknya yang ingin memelihara kebiasaan yang sedang berlangsung, "Hati-hati baca buku ini Nak atau jangan bergaul dengan orang ini? Dia itu betul mengaku muslim, tetapi beda organisasi atau mazhab dengan kita."

Demikian cara pewarisan nilai budaya kepada generasi muda. Paling ditakuti paham Muktazilah atau teologi rasional.

Teologi ini benar-benar dianggap menyimpang. Dahulu ada juga yang tidak membolehkan talfik atau pindah mazhab, kecuali terpaksa, maka bisa pindah sementara, seperti naik haji.

Jika metode demikian masih ingin diterapkan, maka mungkin akan dianggap ketinggalan atau ditinggalkan oleh anak sendiri.

Sebagai contoh, jika dikatakan pada anak, hati-hati jangan pelajari buku ini. Mungkin anak itu akan penasaran segera mencarinya dengan mudah di 'Prof Google' via handphone.

Jika anak melarang baca buku tertentu. Mungkin anak itu akan semakin penasaran mencarinya di perpustakaan.

Teologi Muktazilah sekarang, justru dipelajari di universitas. Setelah dipelajari banyak mahasiswa baru sadar bahwa Muktazilah dibenci tetapi ajarannya diamalkan sehari-hari dalam berprilaku.

Gubernur Sulsel Tegaskan Mal Ditutup

Ini namanya tidak konsisten. Apakah akan membiarkan diri kita terus-menerus tidak konsisten?

Ada seorang ulama bijak menelepon penulis bahwa metode pengajaran tahun 60- an di atas adalah sisa-sisa pengaruh abad pertengahan.

Ternyata, jika kita kembali, seperti baru terjadi G30S dahulu, didapati dua masjid berdekatan, masing-maing melaksanakan salat berdasarkan aliran mazhab atau organisasi masing-masing.

Dekade terakhir tahun ini mulai muncul pikiran baru lebih mencari titik temu antara paham yang berbeda daripada titik perbedaan.

Penulis ikuti sepanjang Ramadan kemarin terdapat beberapa diskusi online yang sama.

Penulis empati pada diskusi yang mencari titik temu semcam ini. Sebab jika titik perbedaan yang dicari, pasti sampai kiamat tidak akan selesai.

Sebab satu paham dalam satu komunitas saja pasti ditemukan perbedaan.

Menurut hukam, semakin tinggi ilmu seseorang berbanding lurus dengan sikap kerendahan hatinya.

Di samping mengakui adanya perbedaan, tetapi tidak membuat mereka bermusuhan.

Pilkada Serentak di Tengah Ancaman Pandemi Covid-19

Imam Ahmad berpendapat misalnya bahwa tidak batal wudhu' jika keluar darah dari hidung. Berbeda dengan Imam Malik yang berpendapat sebaliknya.

Tetapi ketika Imam Ahmad ditanya, apakah engkau ingin salat di belakang Imam Malik? Beliau dengan nada tinggi menjawab,

كيف لا اصلى خلف مالك?

Bagaimana saya tidak ingin salat di belakang Imam Malik? Beliau itu Imam besar, penulis kitab al-Muwatta'.

Demikian pula Imam Syafii yang pernah salat subuh di dekat kuburan Abu Hanifah, beliau tidak kunut sebagai penghormatan kepada Abu Hanifah.

Padahal qunut bagi Syafii sunat muakkad. Mereka ternyata lebih luwes dalam mengamalkan agama.

Dalam sebuah seminar nasional beberapa tahun lewat, kerja sama salah satu media di Makassar dan DPP IMMIM, kami mengundang pembicara dari Bandung dan dari Jakarta.

Dari Jakarta diwakili oleh Imam Besar Masjid Istiqlal. Beliau membuat statemen, "Kita sekarang sedang berangkat dari satu mazhab menuju ke multi mazhab."

New Normal, Begini Penjelasan Ketua MUI Bone Terkait Salat Berjamaah di Masjid

Netizen yang sempat membaca coretan ini, penulis mohon bantuan ditambahkan dan diperkaya agar kita secepatnya bisa melewati masa transisi ini untuk menuju pemahaman Islam yang lebih toleransi dan ramah.

Hal ini agar secepatnya bisa mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang kehidupan.

Walau kelihatannya masih memerlukan beberapa tahun untuk bisa melakukan perubahan secara merata seperti yang pernah diajarkan almarhum Prof Nurcholish Madjid ketika masih di Program Pascasarjana. 

"Jika ingin perubahan, perlu kesabaran. Ibarat baru menjalankan kendaraan jangan langsung digas/ Sebaliknya jika mengerem tidak bisa juga langsung direm mati," pesan cendekiawan Muslim tersebut. 

Karena banyak yang perlu dipersiapkan, di antaranya adalah guru yang akan mendidik murid-murid menghadapi era baru yaitu dari masyarakat tertutup menuju ke masyarakat terbuka sebagai ciri masyarakat modern. (*)

Wassalam,
Makassar, 28 Mei 2020

Berita Terkini