Bayangkan, Satu-satunya indikator daya saing yang menempatkan Sulsel terbaik di KTI, hanyalah indikator stabilitas ekonomi makro, peringkat kesebelas secara nasional. Namun, tiga indikator lainnya, yaitu : (1) Pemeritahan dan institusi publik, (2) Kondisi Finansial, Bisnis, dan Tenaga Kerja, (3) Kualitas Hidup dan pembangunan Infrastruktur, peringkat Sulsel, bahkan yang terendah di kawasan regional Sulawesi.
Lantas, apa yang salah?
Tampaknya, AM Sallatu mencemaskan aspek kepemimpinan politik Sulsel. Pada bagian ketiga buku itu : Perspektif pemerintahan, terdapat, tidak kurang dari tujuh tulisan bernuansa kepemimpinan.
Sangat jelas kalau ia seolah hendak membangun semacam premis tentang daya saing dan kepemimpinan. Premis pertama, peningkatan daya saing suatu daerah ditentukan oleh kualitas dan kapasitas kepemimpinan politiknya.
Premis yang kedua adalah gonjang-ganjing politik mempengaruhi daya saing. Gonjang-gonjang politik yang terjadi akan mengganggu kinerja pemerintahan, yang pada gilirannya berdampak pada, terutama, rendahnya serapan anggaran. Kedua premis ini, coba kita uji di Sulawesi Selatan?
Seperti disampaikan di atas bahwa peringkat tertinggi daya saing yang dicapai Sulsel, terjadi pada 2016. Saat itu adalah tiga tahun masa kepemimpinan SYL, adalah saat di mana stabilitas politik yang paling kondusif terjadi.
Tetapi begitu memasuki 2017, satu tahun jelang Pilkada Sulsel, gonjang-ganjing politik mulai muncul dan stabilitas politik pun mulai terganggu. Dampaknya, peringkat daya saing Sulsel melorot keperingkat kedelapan.
Instabilitas politik Sulsel terjadi, mencapai puncaknya pada 2018, yaitu, masa Pilkada Sulsel berlangsung. Gegara pilkada, kinerja pemerintahan benar-benar terganggu. Para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), suka tidak suka, dipaksa masuk dalam pusaran arus dukung mendukung. Apa yang terjadi? Tata kelola pemerintahan menjadi cenderung amburadul.
Akibatnya, peringkat daya saing Sulsel kembali melorot hingga keperingkat kedelapan.
Bagaimana 2019? Hingga tulisan ini dibuat, penulis belum mendapatkan data atau laporan yang bisa dipertanggungjawabkan.
Akan tetapi, jika melihat situasi politik dan kepemimpinan Nurdin Abdulllah sejak menjabat Gubernur Sulsel, maka, kohoren dengan premis di atas, peringkat daya saing Sulsel tidak lebih baik. Lagi pula, jika peringkat daya saing Sulsel membaik, maka, tidak mungkin seorang AM Sallatu sampai berteriak, “Sulsel butuh pemimpin pemerintahan.” (*)