Sulsel Masih Butuh Pemimpin

Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif: Daya Saing & Kepemimpinan Politik, Di Mana Anggota DPRD?

Editor: AS Kambie
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yarifai Mappeaty, Alumni Universitas Hasanuddin
Buku Sulawesi Selatan Dalam Lintasan Perspektif karya AM Sallatu (dok.tribun)

Oleh : Yarifai Mappeaty
Direktur Selecta Syndicate

TRIBUN-TIMUR.COM - Hari pertama Pebruari 2020 di Makassar, ditandai oleh sebuah percakapan intelektual dalam bentuk bedah buku: Sulsel Dalam Lintasan Perspektif.

Sayangnya, dalam bedah buku yang ditulis oleh AM Sallatu itu, tak satu pun anggota DPRD Sulsel berkenan hadir. Demikian pula pejabat dari Pemprov Sulsel. Padahal, kursi-kursi yang dipersiapkan khusus untuk mereka, oleh panitia dibiarkan kosong hingga beberapa saat lamanya. Hanya nama mereka tertempel di sandaran kursi.

Mengapa kehadiran Anggota DPRD Sulsel dinilai penting? Setidaknya, pertama, kehadiran mereka dapat dimaknai sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan terhadap karya-karya intelektual. Kedua, meski buku itu sarat dengan nuansa kritik, tetapi begitu kontekstual, serta, juga sarat dengan gagasan konstruktif, yang kira-kira berguna untuk membangun Sulsel ke depan yang lebih maju.

Tentu banyak yang kecewa. Pasti. Sebab, tak sedikit yang hadir di acara itu, bukan manusia “kaleng-kaleng”, tetapi sosok-sosok penting yang tak kalah terhormatnya dari mereka yang mendapat sebutan “Yang Terhormat”. Sebut, misalnya, Prof Basri Hasanuddin, Rektor Unhas 1989-1997 dan Menko Kesra 1999-2000.

Selain itu, ada Taslim Arifin, Prof Husni Tanra, Prof Qasim Mathar, Tadjuddin Parenta, dan lainnya.

Mereka semua adalah para mahaguru pendidik generasi pelanjut Sulsel. “Murid-muridnya”, kini, mungkin tak sedikit yang bercokol di DPRD Sulsel saat ini. Kalau mereka saja masih mengaggap penting untuk hadir di acara seperti itu, mengapa Anggota DPRD Sulsel, tidak?

Padahal, selain sudah pada purna bakti, juga tidak peduli kalau hujan mengguyur mengadang mereka.

Tetapi, ah, sudahlah. Mari kembali pada tema.

Penulis sengaja menurunkan tulisan ini untuk melengkapi tanggapan penulis pada acara bedah buku itu. Bagi penulis, satu kata untuk buku tersebut adalah: Geram. AM Sallatu melalui buku itu mengungkapkan kegeramannya terhadap kondisi pembangunan Sulsel yang tak maju-maju, setidaknya, pada satu dekade terakhir.

Kemajuan yang dimaksud di sini, tentu harus dilihat pada perspektif pembangunan ekonomi. AM Sallatu selaku ekonom senior yang pernah dilahirkan Unhas, mulai ikut mewarnai kebijakan pembangunan Sulawesi Selatan sejak era Gubernur Prof Ahmad Amiruddin hingga Gubernur Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Di era Prof Ahmad Amiruddin, AM Sallatu sudah menjabat Wakil Kepala BAPPEDA Sulsel. Jabatan ini disandangnya, berlanjut hingga era Gubernur Palaguna. Bukan hanya itu, Palaguna bahkan mengangkat AM Sallatu menjadi Wakil Ketua BKPMD sekaligus. Dengan begitu, ia tentu saja kompeten berbicara tentang pembangunan ekonomi Sulsel, termasuk kompeten untuk geram pada pencapaian Sulsel mutakhir.

Kegeraman AM Sallatu itu dapat dilacak pada tulisannya tentang daya saing Sulsel. Ia menulis bahwa secara umum, daya saing Sulsel dalam kurun 2015 – 2018, sama sekali tak menggembirakan. Prestasi tertinggi yang pernah dicapai hanyalah peringkat keenam pada 2016.

Setelahnya, terus mengalami penurunan. Bahkan pada 2018, hanya peringkat kesepuluh.
Sebagai sosok yang paham soal pembangunan ekonomi, tentu pencapaian itu sangat mengecewakan baginya.

Mengapa? Sulsel yang dikaruniai begitu banyak potensi, semestinya mampu membangun keunggulan kompetitifnya untuk mengantarkannya menembus peringkat lima besar daya saing secara nasional. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya, terus merosot.

Bayangkan, Satu-satunya indikator daya saing yang menempatkan Sulsel terbaik di KTI, hanyalah indikator stabilitas ekonomi makro, peringkat kesebelas secara nasional. Namun, tiga indikator lainnya, yaitu : (1) Pemeritahan dan institusi publik, (2) Kondisi Finansial, Bisnis, dan Tenaga Kerja, (3) Kualitas Hidup dan pembangunan Infrastruktur, peringkat Sulsel, bahkan yang terendah di kawasan regional Sulawesi.

Lantas, apa yang salah?
Tampaknya, AM Sallatu mencemaskan aspek kepemimpinan politik Sulsel. Pada bagian ketiga buku itu : Perspektif pemerintahan, terdapat, tidak kurang dari tujuh tulisan bernuansa kepemimpinan.

Sangat jelas kalau ia seolah hendak membangun semacam premis tentang daya saing dan kepemimpinan. Premis pertama, peningkatan daya saing suatu daerah ditentukan oleh kualitas dan kapasitas kepemimpinan politiknya.

Premis yang kedua adalah gonjang-ganjing politik mempengaruhi daya saing. Gonjang-gonjang politik yang terjadi akan mengganggu kinerja pemerintahan, yang pada gilirannya berdampak pada, terutama, rendahnya serapan anggaran. Kedua premis ini, coba kita uji di Sulawesi Selatan?

Seperti disampaikan di atas bahwa peringkat tertinggi daya saing yang dicapai Sulsel, terjadi pada 2016. Saat itu adalah tiga tahun masa kepemimpinan SYL, adalah saat di mana stabilitas politik yang paling kondusif terjadi.

Tetapi begitu memasuki 2017, satu tahun jelang Pilkada Sulsel, gonjang-ganjing politik mulai muncul dan stabilitas politik pun mulai terganggu. Dampaknya, peringkat daya saing Sulsel melorot keperingkat kedelapan.

Instabilitas politik Sulsel terjadi, mencapai puncaknya pada 2018, yaitu, masa Pilkada Sulsel berlangsung. Gegara pilkada, kinerja pemerintahan benar-benar terganggu. Para pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), suka tidak suka, dipaksa masuk dalam pusaran arus dukung mendukung. Apa yang terjadi? Tata kelola pemerintahan menjadi cenderung amburadul.

Akibatnya, peringkat daya saing Sulsel kembali melorot hingga keperingkat kedelapan.
Bagaimana 2019? Hingga tulisan ini dibuat, penulis belum mendapatkan data atau laporan yang bisa dipertanggungjawabkan.

Akan tetapi, jika melihat situasi politik dan kepemimpinan Nurdin Abdulllah sejak menjabat Gubernur Sulsel, maka, kohoren dengan premis di atas, peringkat daya saing Sulsel tidak lebih baik. Lagi pula, jika peringkat daya saing Sulsel membaik, maka, tidak mungkin seorang AM Sallatu sampai berteriak, “Sulsel butuh pemimpin pemerintahan.” (*)

Berita Terkini