opini

OPINI: Chunank, Gie dan Gerakan Mahasiswa

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

drg Rustan Ambo Asse

Oleh: drg Rustan Ambo Asse
Ketua Forum Komunikasi Residen FKG Unhas

Meilan
Kau terlalu serius membidikku
Hingga sasaran tak pernah kena
Andai kau iseng
Keadaan mungkin jadi lain
Tapi,
Untuk apa?
Oleh: A Arsunan Arsin, 1987

METAFORA makna berupa ‘perlawanan terhadap penindasan’ dalam puisi Prof Andi Arsunan Arsin mengingatkan kita pada sosok Soe Hok Gie yang memprotes gurunya.

Gie menulis, “ Guru bukan dewa dan murid bukan kerbau”. Puisi selalu meninggalkan jejak konteks dan pesan abadi yang sejatinya hanya akan dapat dipahami secara utuh oleh penulisnya sendiri.

Dalam buku Mengalir Melintasi Zaman, Menebar ide dan Gagasan Tanpa Batas hal 72, Prof Arsunan yang sapaanya lebih akrab dipanggil Chunank menuliskan jejak momentum pergerakan mahasiswa yang memperjuangkan 4 mahasiswa FKG Unhas yang terancam drop out (DO) pada 1987.

Kini mozaik dinamika dan romantika kemahasiswaan itu telah diikat dan abadi, ditulis dalam buku dan dibaca oleh banyak orang serta bangkit sebagai kekuatan kebenaran, seolah-olah apa yang terjadi pada saat itu sejatinya adalah palu godam yang siap menghantam benak para akademisi, para dosen, dan eksistensi pergerakan mahasiswa masa kini.

Bahwa kampus hakikatnya bukan hanya tempat melahirkan lulusan sarjana yang ber-IPK tinggi, tapi kampus adalah miniatur demokrasi. Tempat membentuk karakter yang kuat sebagai mahasiswa.

BACA JUGA: OPINI: Pilkada Langsung dan Partai Politik

BACA JUGA: VIDEO: Anak Tukang Batu Ini Resmi Jadi Polisi, Cium Kaki Ayah Usai Dilantik

Tempat sivitas akademik mengenggam kebebasan berbicara, kesetaraan dan keadilan sebagai ‘core value’.

Harapannya, kelak dikemudian hari ketika mahasiswa tersebut lulus dan mengabdi di masyarakat mereka akan berada di garda terdepan, memiliki keujujuran, integritas dan “ militansi” yang cukup untuk mengabdi apapun profesi yang digeluti.

Buku dan Cinta
Setidaknya bagi kalangan banyak aktivis mahasiswa termasuk era 90-an, buku Catatan Seorang Demonstran oleh Soe Hok Gie dan buku Pergolakan Pemikiran Islam oleh Ahmad Wahib telah mewarnai dinamika intelektual kemahasiswaan.

Gie dan Ahmad Wahib seolah-olah muncul sebagai dua eksponen gerakan pemikiran dan ide-ide baru yang pertama tentang ke-Indonesiaan dan keadilan oleh Gie.

Yang kedua tentang ke-Indonesiaan dan ke-Islaman oleh Ahmad Wahib.

Chunank telah mengakui bahwa dua buku tersebut setidaknya memberi konstribusi pergolakan pemikiran dalam membentuk idealisme, militansi, keikhlasan hingga pada akhirnya menjadi diri sendiri sebagai Chunank yang peduli, idealis, militan, yang hingga hari ini masih merawat ide dan gagasannya, menyebarkannya tanpa batas.

Pada acara bedah buku Mengalir Melintasi Zaman, salah seorang penanggap yang hadir, yang nampaknya juga merupakan aktivis era 80-an mengupas metafora apa dibalik kata: Buku, Pesta dan Cinta yang tertulis dalam buku Catatan Seorang Demonstran.

Bagi kalangan aktivis sejati, buku adalah bacaan wajib bagi seorang aktivis. Pesta baginya adalah diskusi dan cinta adalah kebenaran yang diperjuangkan, kegelisahan yang ditulis, serta pengorbanan untuk keadilan.

Pergerakan Mahasiswa
Apa yang akan membentuk mahasiswa untuk lebih bertanggung jawab dan peduli dengan lingkungan sekitarnya? Sense of crisis yang tumbuh dalam pribadi seorang aktivis tidaklah serta merta hadir begitu saja tanpa proses panjang dan ujian oleh rentang waktu.

Kampus itu ibarat miniatur sebuah negara. Di dalamnya ada proses demokratisasi, kebudayaan, sejarah, riset dan pengabdian dan mungkin juga ketidakadilan.

Jika ketidakadilan itu muncul maka mahasiswa harus muncul sebagai social control sebagaimana jika hal itu terjadi di negeri ini maka sungguh sejarah telah membuktikan posisi mahasiswa sebagai agent of change.

Jika pergerakan mahasiswa hari ini disinyalir mengalami kelesuhan, maka para aktivis lintas generasi terutama eksponen era 70-an, era 80-an, dan era 90-an tentu memiliki tanggung jawab moral paling tidak menemukan formula baru saat ini.

Hal itu jika hari ini masih dipahami bahwa mahasiswa dengan segala dinamikanya perlu direkayasa, dibentuk, agar negeri ini pada masa yang akan datang memiliki generasi yang tidak hanya terbuai dengan kemudahan perkembangan teknologi dengan segala manfaatnya akan tetapi memiliki karakter yang kuat secara otonom yang tetap bisa bangkit sekalipun kemudahan era milenial hilang ditelan waktu.

Gunung dan Puisi

Sebagaimana Gie, kegelisahan Chunank menjelma menjadi sebuah perjalanan kontempelasi di atas puncak gunung.

Berlakunya NKK/BKK yang membunuh aktivitas kemahasiswaan membuat dirinya berfikir untuk membentuk Korpala Unhas pada 1985.

Dari sini tampak bahwa gagasan dan ide serta ideologi kemahasiswaan tidak akan pernah mati. Idealisme mahasiswa serupa air yang mengalir, yang jika suatu saat dihambat maka alirannya akan terus mencair dan menetes, hingga menemukan titik paling rendah sekalipun.

Gagasan dan ide tidak akan pernah hilang jika mahasiswa pemilik suatu zaman merawat apa yang mereka punya, hingga gagasan itu diteruskan ke generasi selanjutnya.

Tak ada defenisi mutlak yang dapat membatasi romantika seorang Chunank sebagai pemanjat gunung yang membawa kegelisahan intelektualnya di atas sana, selain dirinya sendiri.

Kegelisahan yang direnungkan secara mendalam di sana, boleh jadi akan menjadi cikal bakal sebuah ide dan gagasan yang selanjutnya ditulis dan didiskusikan di forum-forum diskusi di kampus atau dirumahnya sendiri sebagai tempat kumpulnya para aktivis.

Selain menulis opini, puisi telah mengabadikan setiap serpihan ide, gagasan dan pemberontakan seorang Chunank.

Walaupun mungkin sebagian naskah puisi-puisi itu tidak sempat diselamatkan karena peristiwa banjir yang membawa hanyut, tapi hari ini catatan yang tertulis dalam buku Mengalir Melintasi Zaman telah menjadi jawaban atas ungkapan Pramoedya Ananta Toer, yaitu : “Menulislah, Jika tidak maka kau akan hilang dari pusaran sejarah”.

Semoga hal ini menjadi momentum untuk menarik dan merekatkan para aktivis mahasiswa yang lain untuk menuliskan sejarahnya.

Menyebarkannya agar sejarah itu abadi dan menjadi buku bacaan aktivis pada masa saat ini. Selamat menunggu buku yang lain! (*)

 Catatan: Tulisan di atas telah terbit di Rubrik Opini Tribun Timur edisi cetak, Selasa 6 Maret 2018.

Berita Terkini