Opini
Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia
Sementara pusat "menikmati" kenaikan anggaran belanja, daerah terpaksa harus gigit jari mencari celah pembiayaan melalui sumber PAD.
Oleh: Arief Wicaksono
Dosen Fisip, Direktur Pusat Studi Desentralisasi dan Kerjasama Global Universitas Bosowa
TRIBUN-TIMUR.COM - Pada tahun-tahun belakangan, wajah otonomi daerah di Indonesia dihadapkan pada tantangan pelik yang menuntut refleksi mendalam.
Penurunan tajam transfer keuangan dari pusat ke daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 menjadi salah satu isu krusial, dimana pemerintah hanya mengalokasikan Rp 650 triliun untuk daerah, turun hampir 29 persen dari tahun sebelumnya yang menyentuh Rp 919 triliun.
Penyesuaian ini berbanding terbalik dengan naiknya belanja pemerintah pusat, dimana terjadi peralihan anggaran ke belanja pemerintah pusat yang meningkat 17,8?ri Rp 2.663,4 triliun menjadi Rp 3.136,5 triliun.
Sementara pusat "menikmati" kenaikan anggaran belanja, daerah terpaksa harus gigit jari mencari celah pembiayaan melalui sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Flypaper Effect
Realitas di balik jargon desentralisasi fiskal di Indonesia, masih ditandai ketergantungan yang akut pada anggaran dari pusat.
Data Kementerian Dalam Negeri mengungkap pada 2025, rasio rata-rata PAD terhadap total pendapatan daerah nasional baru sekitar 37,5 % .
Hanya 14 provinsi dari 38 yang PAD-nya di atas rata-rata—bahkan 20 provinsi masih mengandalkan transfer pusat di atas 60 % kebutuhan belanja daerah.
Sedangkan di tingkat kabupaten/kota, ada yang ketergantungannya pada dana perimbangan pusat melebihi 800?ri PAD, seperti Kabupaten Bangli (Bali); hanya beberapa daerah seperti Denpasar dan Gianyar, yang sudah mampu menekan ketergantungan ke rentang 114–182?ri PAD-nya sendiri.
Data diatas menunjukkan bahwa telah terjadi ketergantungan yang sangat akut dari pemerintah daerah kepada pemerintah pusat dalam hal fiskal.
Fenomena yang dikenal sebagai “flypaper effect” ini menunjukkan transfer pusat justru membuat daerah enggan menggali PAD, karena merasa ada jaminan dana dari pusat setiap tahunnya.
Efek inilah yang memperlemah inovasi fiskal daerah dan membuat kebijakan seperti kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) menjadi solusi “termudah” saat transfer pusat dikurangi atau terasa berkurang, dampak dari diberlakukannya efisiensi oleh pemerintah pusat.
Efek Domino
Para pengambil kebijakan di daerah, terpaksa menempuh “jalan pintas” menaikkan PBB-P2, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pati, Kabupaten Bone, Kabupaten Jombang, dan sejumlah wilayah lain yang mengalami lonjakan hingga 250–1000 % .
Kenaikan ini sering berorientasi pada kebutuhan jangka pendek untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna menutupi kekurangan dana pembangunan.
Namun, lonjakan mendadak ini juga memicu gelombang protes di masyarakat, khususnya dari kalangan menengah-bawah, pensiunan, dan pelaku usaha kecil-menengah yang terdampak penurunan daya beli, likuiditas usaha, hingga kepatuhan pajak seperti yang telah diproyeksikan akan berdampak langsung terhadap layanan publik dan perlambatan pembangunan daerah, memicu gejolak sosial-ekonomi setempat.
Ketergantungan fiskal daerah pada transfer dari pusat memang sudah lama menjadi catatan kritis dalam literatur otonomi daerah di Indonesia.
Transfer dari pusat dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) mestinya diukur dari bagaimana daerah mampu bertransformasi bukan hanya sebagai “pengelola dana”, tetapi juga sebagai inovator pendapatan dan pelayanan publik.
Dari data APBD nasional tahun 2023–2024 menunjukkan sejumlah kabupaten/kota bahkan mengalami penurunan rasio kemandirian fiskal hingga di bawah 30 % karena PAD-nya yang kurang agresif dan cenderung ditempatkan di "wilayah aman".
Tantangan Pemerintah Daerah
Dalam praktik desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya dibebani tanggung jawab fiskal.
Tumpang-tindih kewenangan antara pusat dan daerah, perubahan regulasi yang berulang, serta minimnya koordinasi masih menjadi batu sandungan.
Ketidakpastian hukum dan keterbatasan kapasitas birokrasi menyebabkan respons kebijakan daerah cenderung reaktif, pragmatis, dan minim inovasi.
Ketergantungan daerah pada aliran dana pusat juga memiliki implikasi negatif dalam membangun kemandirian fiskal.
Meskipun regulasi telah memberi ruang otonomi, tetapi dalam praktiknya, sebagian besar daerah belum mampu mengelola potensi lokal secara efektif dan efisien.
Banyak kepala daerah lebih memilih mengutamakan kebijakan “mudah”, seperti menaikkan pajak, dibanding mengembangkan sumber pendapatan inovatif, optimalisasi aset, ataupun kolaborasi multi-sektor.
Mendorong inovasi dan akuntabilitas Pemerintah Daerah
Dalam sebuah kesempatan, Profesor Ryaas Rasyid menyampaikan bahwa pemangkasan dana transfer pusat seharusnya tidak otomatis membebani rakyat, melainkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk berinovasi.
Pemerintah pusat perlu memberi ruang dan kepercayaan lebih besar kepada daerah, namun juga harus konsisten menerapkan supervisi dan pengawasan agar pengelolaan fiskal berjalan akuntabel.
Penting bagi kepala daerah untuk membangun kapasitas birokrasi yang adaptif, transparan, dan berbasis kebutuhan warga.
Keterbukaan data, pelibatan masyarakat dalam penyusunan kebijakan, dan insentif bagi pelayanan publik berkualitas merupakan langkah strategis untuk membangun kemandirian daerah.
Otonomi yang sehat menuntut kolaborasi erat antara pusat dan daerah serta penguatan SDM dan tata kelola pemerintahan daerah.
Menjaga Spirit Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagaimana telah diamanatkan oleh Reformasi 1998 dan awal era desentralisasi, mestinya menjadi wadah pemberdayaan dan kreatifitas lokal, bukan sekadar formalitas transfer kewenangan.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan perjalanan panjang menuju otonomi yang sungguh “memerdekakan” daerah, bukan sebaliknya mengukuhkan sentralisasi gaya baru.
Penurunan transfer dana ke daerah di satu sisi memang menuntut efisiensi anggaran nasional, namun harus dibarengi dengan reformasi di tubuh birokrasi pemerintah pusat yang masih “gemuk” dan minim keteladanan. Komitmen supervisi, asistensi, dan pelatihan bagi kepala daerah menjadi kunci utama.
Tanpa itu, inovasi akan sulit tumbuh, dan kebijakan “jalan pintas” akan terus berulang, menodai cita-cita luhur Reformasi, Desentralisasi, dan otonomi daerah.
Ke depan, peta jalan desentralisasi harus meletakkan pemerintah daerah sebagai motor penggerak pembangunan, didukung kebijakan fiskal yang berpihak pada kebutuhan riil rakyat di daerah.
Kolaborasi, inovasi, dan akuntabilitas adalah roh otonomi daerah Indonesia yang sebenarnya, demi pemerintahan daerah yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.