Opini
Obituari Jiwa yang Bersahaja
Ketika kabar tersiar begitu cepat tentang berpulangnya sahabat kita Dr Aswar Hasan, rasanya ada cahaya yang hilang.
Tamsil Linrung: Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)
TRIBUN-TIMUR.COM - Kehilangan sosok sahabat cendekiawan, aktivis, dan pejuang yang lantang menyuarakan kebenaran selalu meninggalkan duka mendalam.
Namun seperti kata Albert Camus, “Manusia tidak hidup untuk melihat dirinya sendiri, tetapi untuk melihat dunia dan mengubahnya dengan keberanian.”
Sosok dengan pemikiran tajam dan hati yang tulus, tak hanya memeriahkan jalan kebenaran dengan cahaya, tetapi juga menginspirasi kita semua untuk terus memperjuangkan nilai-nilai. Meski dunia kadang kala berpaling dari cahaya itu.
Ketika kabar tersiar begitu cepat tentang berpulangnya sahabat kita Dr Aswar Hasan, rasanya ada cahaya yang hilang.
Langit Makassar yang biru, sontak menjadi kelabu.
Gemuruh ombak yang menggapai Losari, tiba-tiba terhenti.
Kepergian Dr Aswar Hasan sangat mendadak, karena kematian dan ajal memang datang secara acak.
Baru beberapa hari sebelumnya kita menikmati tulisan sang dokter yang merefleksikan keresahannya.
Lalu tiba-tiba kita dibuat terkejut, tulisan berikutnya tentang Dr Aswar Hasan ternyata obituari sang sosok bersahaja.
Ia meninggalkan duka di hati, namun warisan pemikirannya telah berpijar.
Ia menjelma sebagai lentera yang menyala. Menerangi mereka yang berjalan di lorong keadilan, kebenaran, dan keimanan.
Bagi saya, kenangan tentang Aswar adalah memori mengenai sosok yang tak hanya menjadi sahabat, tetapi juga cermin bagi jiwa aktivisme yang tak pernah padam, bahkan hingga di penghujung kehidupan.
Persinggungan intensif saya dengan Aswar terjadi di medan aktivisme.
Khususnya di masa ketika kami sama-sama mengabdikan diri pada Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI).
Di sana, Aswar bukan sekadar nama, melainkan simbol semangat yang membara.
Ia adalah alumni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), wadah yang telah menempa banyak intelektual Muslim di negeri ini, dan Aswar adalah salah satu permata terbaiknya.
Dalam setiap diskusi, ia hadir dengan gagasan-gagasan yang tajam, namun disampaikan dengan santun dan adab yang mencerminkan akhlak mulia.
Jiwa aktivisnya terpancar dalam setiap langkahnya, dalam setiap kata yang ia ucapkan, dan dalam setiap tindakan yang ia lakukan.
Bersahaja, namun penuh wibawa. Itulah Aswar yang saya kenal.
Meski kita dapat menangkap emosi yang kuat dari balik setiap argumentasinya, sebagai pakar komunikasi Aswar mampu mengartikulasikan hal itu tetap on point.
Aswar adalah seorang komunikator ulung, tak hanya dalam ranah akademik sebagai dosen di Universitas Hasanuddin, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari.
Ia mampu menyampaikan ide-ide besar dengan bahasa yang sederhana, namun mengena.
Sebagai pakar ilmu komunikasi, ia memahami bahwa kata-kata bukan sekadar bunyi. Kata-kata adalah senjata yang mampu mengubah cara pandang dan membangkitkan kesadaran.
Maka dalam setiap tulisannya di berbagai media, Aswar menunjukkan bahwa pena seorang cendekiawan bisa menjadi pedang yang lebih tajam dari samurai.
Ia menulis dengan penuh keberanian, tak gentar mengartikulasikan kebenaran, sekalipun itu berarti harus berhadapan dengan arus yang berlawanan.
Masa muda Aswar digembleng dengan prinsip. Hal itu ia pegang teguh sejak di Pelajar Islam Indonesia (PII).
Aswar menjalani hidup dengan motto “tandang ke gelandang meski seorang.”
Ia tak pernah kompromi dengan apa yang ia yakini sebagai kebenaran. Baginya, haq adalah haq, dan bathil adalah bathil.
Tak ada ruang untuk abu-abu dalam kamus perjuangannya.
Dalam setiap forum, baik di ruang-ruang akademik, mimbar-mimbar diskusi, maupun di tengah masyarakat, Aswar selalu lantang.
Suaranya bukanlah suara yang mencari popularitas, melainkan suara jernih yang lahir dari keyakinan mendalam akan tanggung jawab seorang Muslim untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun, keberanian Aswar tidak pernah lepas dari kerendahan hatinya.
Ia adalah sosok yang tak pernah memamerkan jabatan atau gelar, meski ia pernah menjabat sebagai komisioner Komisi Informasi Pusat dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Sulawesi Selatan.
Menariknya, label sebagai pejabat lembaga publik justru tak pernah melekat pada persona Aswar.
Ia jauh lebih dikenal sebagai aktivis dan cendekiawan. Dari situ, tampak bahwa Aswar mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan nilai-nilai.
Posisi publik yang ia raih bukan karena ambisi, tapi karena merupakan opsi untuk memberikan makna lebih luas bagi nilai-nilia yang diusung.
Khususnya dalam memandang peran komunikasi dan informasi dalam membentuk peradaban publik.
Aswar menjalani setiap amanah dengan penuh integritas, menjadikan posisinya sebagai sarana untuk memperbaiki tatanan informasi dan komunikasi di negeri ini.
Kenangan saya tentang Aswar tak hanya terletak pada keberaniannya, tetapi juga pada kehangatan persahabatannya.
Ia adalah sahabat yang selalu hadir dengan sikap yang tulus. Dalam setiap perbincangan kami, Aswar selalu mampu membawa perspektif baru, mengajak saya untuk melihat dunia dari sudut yang lebih luas, namun tetap berpijak pada nilai-nilai Islam yang kami junjung bersama.
Ia adalah pendengar yang baik, namun juga pembicara yang mampu menggugah.
Dalam dirinya, saya melihat perpaduan langka antara intelektualitas, keimanan, dan kepekaan sosial.
Warisan pemikiran Aswar Hasan adalah lentera yang tak akan pernah padam.
Ia meninggalkan jejak dalam dunia akademik, aktivisme, dan penegakan nilai-nilai Islam.
Tulisan-tulisannya di berbagai media menjadi bukti bahwa ia tak pernah lelah memperjuangkan kebenaran, bahkan ketika dunia di sekitarnya sering kali memilih diam.
Ia mengajarkan kepada kita bahwa seorang intelektual sejati bukanlah mereka yang hanya berbicara di menara gading, tetapi mereka yang mampu turun ke bumi, berjalan bersama rakyat, dan menyuarakan apa yang benar, meski itu berarti harus berjalan sendirian.
Sebagai seorang aktivis, Aswar tak pernah lelah memperjuangkan cita-cita penegakan syariat Islam.
Bagi sebagian orang, gagasan ini mungkin terdengar kontroversial, tetapi bagi Aswar, ini adalah panggilan jiwa.
Ia percaya bahwa Islam bukan sekadar ritual, tetapi juga sistem nilai yang mampu membawa keadilan dan kesejahteraan bagi umat manusia.
Dalam setiap langkahnya di KPPSI, ia menunjukkan bahwa perjuangan untuk syariat bukanlah tentang kekerasan atau pemaksaan, melainkan tentang pendidikan, dialog, dan pembangunan kesadaran kolektif.
Aswar adalah contoh nyata bahwa seorang aktivis Islam sejati adalah mereka yang mampu menyeimbangkan keteguhan prinsip dengan kelembutan hati.
Kepergian Aswar adalah kehilangan besar, bukan hanya bagi saya secara pribadi, tetapi juga bagi dunia akademik, aktivisme, dan umat Islam secara keseluruhan.
Namun, di tengah duka, saya menemukan keyakinan bahwa warisan Aswar akan terus hidup.
Ia telah menabur benih-benih kebenaran yang kini tumbuh di hati banyak orang yang pernah mengenalnya, baik melalui tulisan-tulisannya, ceramah-ceramahnya, maupun teladan hidupnya.
Aswar telah menunjukkan bahwa hidup adalah tentang bagaimana kita meninggalkan jejak yang bermakna, tentang bagaimana kita mampu menjadi cahaya di tengah kegelapan.
Saya mengenang Aswar sebagai sahabat yang selalu hadir dengan jiwa yang penuh semangat, sebagai cendekiawan yang tak pernah lelah mencari dan menyuarakan kebenaran, dan sebagai aktivis yang menjalani hidupnya dengan penuh integritas.
Ia adalah bukti bahwa seorang manusia biasa, dengan keimanan dan keberanian, mampu mengukir sejarah. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.